tidak ada kondom

tidak ada kondom
Iklan ini diangkat dari kisah nyata. Beberapa anak muda di suatu desa di Papua menggunakan plastik ketika melakukan hubungan seks. Tujuannya untuk mencegah penularan HIV. Mereka tahu bahwa hubungan seks dapat menularkan virus ini, tetapi kondom sulit didapat dan mahal harganya.

Sunday, December 30, 2007

Renungan akhir tahun 2007

Waktu terlalu cepat untuk diikuti.

Sedangkan masa lalu selalu terlambat. Kembali padanya adalah mustahil.

Sedangkan masa depan selalu satu langkah di muka. Mendahuluinya adalah ketidakmungkinan.

Hidup manusia adalah miniti waktu yaitu melewati kemarin dan menanti esok.

Sekarang adalah sesaat, sekejap. Sekarang hanyalah selebar benang tipis, yang lebar adalah apa yang kita lakukan tadi dan apa yang akan kita lakukan nanti.

Hanya mereka yang terbebas dari masa lalu yang mampu berjalan seiring waktu. Selebihnya – yang terbuai dengan sejarah, meratapi kesalahan, dan mengagumi kejayaan – akan terseret olehnya.

Hanya mereka yang memiliki harapan yang mampu menuntun detak waktu. Selebihnya – yang gentar dan ragu – hanya sekedar menanti datangnya nanti.


Jakarta, 31 Desember 2007 jam 11:26 pagi
Sekedar renungan singkat saat menanti nanti dan menengok tadi .....

Thursday, July 19, 2007

Hak Anak dan Pencegahan AIDS di Papua

Hari ini diperingati sebagai Hari Anak Nasional yang sudah 23 kali diperingati oleh bangsa Indonesia. Penetapan peringatan hari anak ini merupakan suatu bentuk perhatian terhadap keberadaan anak-anak yang merupakan masa depan bangsa ini. Walaupun demikian, perhatian terhadap kehidupan anak-anak tidaklah cukup dengan mengadakan acara seremonial saja. Karenanya pemerintah Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi Hak Anak PBB melalui Keppres No. 36 Tahun 1990. Sebuah undang-undang juga telah diundangkan, yaitu UU no. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Berbagai upaya perlindungan anak dilakukan untuk memastikan keceriaan anak-anak Indonesia tidak terganggu oleh tindakan diskriminasi, eksploitasi (baik ekonomi maupun seksual), penelantaran, kekejaman, kekerasan, penganiyaan, ketidakadilan dan perlakuan salah lainnya (Pasal 13 UU no. 23 Tahun 2002). Semua ini dilakukan untuk menjamin masa depan anak yang lebih baik – masa depan bangsa ini. Undang-undang ini menjamin empat hak anak yang mendasar, yaitu hak hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi dan mendapat perlindungan. Orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara wajib memenuhi keempat hak anak ini.

Untuk terpenuhinya hak-hak tersebut, UU ini menguraikan lebih jelas bahwa negara, pemerintah, keluarga dan orang tua wajib mengusahakan agar anak terbebas dari penyakit yang mengancam kehidupan mereka (pasal 46). Pasal ini sepertinya jauh dari kenyataan bila kita mempelajari sebuah penelitian di Tanah Papua tentang HIV dan AIDS yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan dan Badan Pusat Statistik pada akhir tahun lalu. Survei ini menemukan bahwa anak-anak Papua berada dalam kerentanan yang tinggi untuk terkena HIV dan AIDS.

Survei ini menemukan bahwa prevalensi HIV di kalangan anak-anak dan pemuda (15-24 tahun) adalah sebesar 3 persen. Sebuah angka yang sangat mengejutkan kita. Lebih jauh lagi, survei ini juga mengungkapkan kecenderungan semakin banyak penduduk dengan usia 15-24 tahun yang melakukan hubungan seks pertama sebelum usia 15 tahun dibandingkan penduduk dengan kelompok umur yang lebih tua. Kecenderungan ini jauh lebih tinggi pada penduduk perempuan dibandingkan penduduk laki-laki. Sayangnya penelitian ini tidak mengungkapkan prevalensi HIV pada anak-anak yang lebih muda, yang mungkin terinfeksi HIV dari ibu mereka.

Perilaku seks anak-anak di Papua
Hasil survei ini juga didukung oleh berbagai penelitian lain, termasuk yang dilakukan oleh penulis. Dalam berbagai diskusi dengan anak-anak di kabupaten Jayawijaya, penulis menemukan bahwa anak-anak berusia sekitar 16 sampai 18 tahun mengaku sering terlibat dalam pesta, baku goyang atau disko yang didalamnya diselingi hubungan seks.
Leslie Butt, seorang antropolog, juga menemukan hal yang serupa. Butt menjelaskan bahwa generasi muda di Papua berada dalam kerentanan yang sangat tinggi terhadap HIV karena mereka terlibat dalam hubungan seks mulai pada usia yang sangat muda. Video porno sangat mudah ditemukan bahkan dipedalaman sekalipun. Hubungan seks untuk uang juga dilakukan oleh anak-anak perempuan. Keadaan ini diperparah dengan perilaku menghirup lem, merokok dan alkohol.

Pemahaman yang dangkal akan keadaan ini hanya akan menimbulkan penyalahan terhadap perilaku seks mereka atas tingginya prevalensi HIV di kalangan anak-anak dan pemuda di sana. Akibatnya tindakan yang dilakukan hanyalah sebatas melarang anak-anak melakukan perilaku-perilaku tersebut tanpa upaya kongkrit untuk melenyapkan faktor-faktor penyebabnya.

Telah banyak penelitian di Tanah Papua yang menunjukkan bahwa perubahan sosial yang amat drastis berpengaruh besar dalam terkikisnya nilai-nilai moral yang sebelumnya menjaga kehidupan masyarakat di sana. Pendidikan yang sebelumnya dilakukan oleh orang tua dan keluarga yang dilakukan dalam honai-honai telah digantikan oleh pendidikan modern yang diselenggarakan oleh pemerintah. Sedangkan kita ketahui bersama kualitas pendidikan di sana sangatlah jauh dari memadai. Kehidupan yang sebelumnya sangat harmonis dengan alam tergantikan dengan eksploitasi berlebihan yang mengakibatkan terkuasainya sumber daya alam oleh sekelompok kecil masyarakat. Perubahan-perubahan inilah yang mengakibatkan anak-anak meninggalkan desanya menuju ke kota – tanpa pengawasan orang tua mereka dan berbuat semaunya, semakin tingginya kekerasan domestik dan juga menjamurnya seks komersil. Anak-anak tidak lagi tertarik untuk menerapkan norma-norma yang sebelumnya mengikat mereka.

Selain perubahan sosial yang drastis, sebab lain yang berkontribusi dalam epidemi HIV dan AIDS ini adalah kemiskinan, tidak tersebarnya pendidikan yang berkualitas, rendahnya akses terhadap pelayanan kesehatan.

Melihat keadaan ini, jika semua pihak tidak melakukan tindakan yang nyata maka kita akan kehilangan masa depan anak-anak kita di Papua. Dapat dipastikan ribuan bahkan ratusan ribu anak-anak akan terkena HIV kalau kita tetap terlena oleh seremoni perayaan Hak Anak Nasional yang biasanya penuh keceriaan.

Pemenuhan Hak Anak
Tindakan nyata yang diperlukan tidaklah sebatas kampanye pencegahan HIV dan AIDS saja, tetapi upaya menyeluruh untuk memastikan hak-hak anak terpenuhi. Semua pihak tanpa terkecuali harus mengupayakannya. Pemerintah wajib menyelenggarakan upaya kesehatan yang komprehensif bagi anak, yang meliputi upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif (pasal 44).

Pemerintah juga wajib menyediakan pendidikan dasar untuk semua anak (pasal 48). Pendidikan yang dimaksud bukanlah sekedar mengasah kemampuan kognitif tetapi juga pengembangan sikap dan kemampuan kepribadian, pengembangan rasa hormat terhadap budaya dan nilai-nilainya (pasal 50). Pendidikan yang berkualitas terbukti ampuh untuk mengatasi epidemi HIV dan AIDS.

Bahkan sebenarnya negara dan pemerintah wajib untuk memberikan dukungan sarana dan prasarana untuk memungkinkan terjadinya perlindungan anak (pasal 22), misalnya lapangan bermain, lapangan olahraga, gedung kesenian, tempat rekreasi dan lain-lain. Sarana ini diharapkan dapat digunakan oleh anak-anak untuk mengisi waktu mereka dengan kegiatan yang berguna.

Upaya komprehensif pencegahan HIV dan AIDS pada anak perlu dilakukan dalam kerangka pemenuhan hak hidup – hak yang paling mendasar bagi anak-anak kita. Keterlibatan semua pihak diperlukan untuk melakukan hal ini. Semoga dana otonomi khusus yang melimpah di Tanah Papua dapat digunakan semaksimal mungkin untuk jaminan atas terlindunginya anak-anak dan hak-hak mereka. Semoga pada perayaan Hari Anak Nasional pada tahun-tahun yang akan datang, keceriaan anak-anak Papua bukanlah keceriaan yang semu dan mereka terbebas dari ancaman HIV dan AIDS.

Hak Anak dan Gizi Buruk

Sudah 23 kali Hari Anak Nasional diperingati. Pada tahun ini, semarak peringatannya sudah dimulai sejak beberapa minggu yang lalu bersamaan dengan hari libur sekolah. Penetapan peringatan hari anak ini merupakan suatu bentuk perhatian terhadap keberadaan anak-anak yang merupakan masa depan bangsa ini. Tidak hanya sekedar menetapkan hari anak, pemerintah Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi Hak Anak PBB melalui Keppres No. 36 Tahun 1990. Sebuah undang-undang juga telah diundangkan, yaitu UU no. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Berbagai upaya perlindungan anak dilakukan untuk memastikan keceriaan anak-anak Indonesia tidak terganggu oleh tindakan diskriminasi, eksploitasi (baik ekonomi maupun seksual), penelantaran, kekejaman, kekerasan, penganiayaan, ketidakadilan dan perlakuan salah lainnya (Pasal 13 UU no. 23 Tahun 2002). Semua ini dilakukan untuk menjamin masa depan anak yang lebih baik. Undang-undang ini juga menjamin empat hak anak yang mendasar, yaitu hak hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi dan mendapat perlindungan.

Gizi buruk
Untuk menjamin anak hidup, tumbuh dan berkembang dengan baik, semua pihak yaitu orangtua, keluarga, negara dan pemerintah wajib mengusahakan agar anak terbebas dari penyakit yang mengancam kehidupan mereka (Pasal 46). Orangtua dan keluarga juga bertanggung jawab merawat anak bahkan sejak dalam kandungan (Pasal 45). Berbeda dengan harapan dari pasal-pasal ini, kenyataan berbicara lain. Tidak jarang media massa melaporkan balita yang mengalami gizi buruk. Suatu keadaan yang pasti tidak mendukung kehidupan, pertumbuhan dan perkembangan mereka.

Tumbuh dan kembang anak sangat memerlukan keadaan gizi yang baik. Tanpa terpenuhinya gizi yang baik, dapat kita bayangkan rendahnya kualitas manusia Indonesia pada 10 atau 20 tahun yang akan datang. Pada masa datang itu persaingan dengan bangsa lain tidak mungkin kita elakkan dan akibatnya kita akan tersisihkan dalam persaingan global. Sungguh suatu keadaan yang harus kita hindari.

Di provinsi Nusa Tenggara Timur tingginya prevalensi balita gizi kurang dan buruk adalah keadaan yang lazim. Di tahun 2005 sekitar 28,8 persen balita di provinsi ini menderita gizi kurang dan buruk. Sedangkan tahun 2006, Dinas Kesehatan setempat melaporkan terjadi sedikit kenaikan di mana sekitar 30 persen anak mengalami keadaan tersebut. Data berbeda ditampilkan oleh sebuah LSM yang menemukan bahwa 55,5 persen balita menderita gizi kurang dan buruk di empat kecamatan di kabupaten Timor Tengah Selatan. Meskipun angka prevalensi sangat bervariasi, tidak ada yang menyangkal bahwa banyak balita di provinsi ini mengalami keadaan kurang gizi yang telah berlangsung lama.

Kerawanan pangan
Dapat kita perkirakan bahwa keluarga sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam pemenuhan gizi balita mengalami masalah dalam pemenuhan kebutuhan pangan mereka. Sebuah penelitian pada pertengahan tahun ini yang diadakan oleh Universitas Cendana dan World Vision Indonesia menemukan bahwa sekitar 70 persen keluarga di kabupaten Sumba Barat berada dalam kerawanan pangan dengan tingat kelaparan sedang. Sedangkan LSM lain menemukan sekitar 45 persen keluarga berada pada keadaan tersebut di kabupaten Timor Tengah Selatan pada tahun 2006.

Rendahnya curah hujan di daerah ini dan cara pertanian yang masih sangat sederhana menjelaskan sebab terjadinya kerawanan pangan di NTT yang akhirnya mengorbankan masa depan anak-anak di sana. Tetapi kita seharusnya tidak menyerah pada keadaan ini. Kehidupan, pertumbuhan dan perkembangan anak tidak boleh diabaikan karena kita menyerah terhadap tantangan alam ini.

Pasal 45 UU 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa dalam keadaan orangtua dan keluarga tidak mampu menjaga kesehatan anak dan merawatnya, maka pemerintah wajib memenuhinya. Tentunya yang diperlukan bukan hanya bantuan pangan sesaat yang sifatnya hanya rehabilitatif, tetapi program pertanian yang memampukan masyarakat di sana terbebas dari kerawanan pangan.

Tanggung jawab orangtua
Di saat yang sama, orangtua dan keluarga sebagai pihak yang paling bertanggung jawab, seharusnya diajak untuk semaksimal mungkin memenuhi kebutuhan gizi anak-anak mereka. Berbagai penelitian membuktikan masih banyak ibu yang tidak tahu tentang keunggulan ASI dan cara pemberian ASI yang benar. Padahal ASI adalah makanan yang paling cocok dan bergizi untuk anak berusia di bawah dua tahun. Pemberian ASI dengan benar akan dapat mencegah terjadinya kurang gizi.

Informasi tentang keunggulan ASI seharusnya diberitakan dengan jelas melalui berbagai media, salah satunya adalah media massa. Perlu diberitakan bahwa selama enam bulan pertama kehidupan bayi, mereka hanya perlu ASI saja. Ini yang disebut sebagai ASI eksklusif. Setelah itu, ASI tetap merupakan makanan terbaik sampai anak berusia dua tahun, tetapi perlu diberikan makanan yang mendampingi pemberian ASI yang sering disingkat MP-ASI atau makanan pendamping ASI. Keunggulan tentang ASI ini tidak terbantahkan dan telah direkomendasikan oleh Badan Kesehatan Dunia dan juga oleh pemerintah Indonesia melalui Departemen Kesehatan.

Sebuah upaya perbaikan gizi balita yang dilakukan oleh masyarakat di Sumba Barat yang difasilitasi oleh World Vision Indonesia, membuat suatu terobosan dengan menghubungkan pemenuhan gizi balita dengan kesadaran akan hak anak. Kelompok masyarakat di beberapa desa menyisihkan lahan pertanian mereka untuk ditanami kacang hijau, jagung dan kacang kedelai yang hasil panennya dikhususkan untuk balita. Di tengah terbatasnya produksi pangan, masyarakat diajak untuk secara kolektif merencanakan produksi pertanian untuk anak-anak mereka. Walaupun tidak semua lahan pertanian mereka berhasil, tetapi kelompok masyarakat ini telah berhasil mengajak orangtua dan keluarga untuk bertanggungjawab dalam memenuhi hak anak.

Pemenuhan gizi adalah salah satu upaya pemenuhan hak anak. Semua pihak termasuk orangtua, keluarga, masyarakat dan pemerintah wajib untuk menjamin pemenuhannya demi masa depan anak yang lebih baik. Orangtua dan keluarga adalah pihak yang seharusnya paling bertanggungjawab dengan memberi makanan yang terbaik bagi anak-anak. ASI adalah makanan yang terbaik bagi anak berusia di bawah dua tahun. Produksi pangan keluarga seharusnya diutamakan diberikan kepada anak-anak. Sedangkan pemerintah wajib untuk menolong masyarakat yang mengalami kesulitan untuk merawat anak mereka. Semoga peringatan Hari Anak Nasional pada tahun-tahun yang akan datang tidak akan diwarnai dengan gizi buruk.

Tuesday, July 17, 2007

Menghadapi Harga Susu yang Melambung

Suara Pembaruan Jumat, 6 Juli 2007

Oleh Ronald Gunawan

Dalam dua minggu ini media massa gencar memberitakan kenaikan harga susu di berbagai tempat di Indonesia. Dilaporkan bahwa harga susu naik sekitar 10 persen dari harga asal. Ditengarai hal ini terjadi karena faktor eksternal, yaitu kenaikan harga susu di dunia. Diduga kuat, terjadi kekeringan di Australia mengakibatkan turunnya produksi susu sapi di sana. Media juga melansir berita bahwa tingginya harga susu ini kemungkinan akan bertahan sampai akhir tahun ini dengan kenaikan mencapai 15 persen.

Seperti kenaikan harga barang lainnya, media massa mencermati berbagai komentar masyarakat dan sikap dan tindakan pemerintah. Tentu saja dapat ditebak bahwa ibu-ibu keberatan dengan kenaikan harga ini. Mereka mengeluh karena tidak sanggup lagi untuk membeli susu untuk anak mereka. Sedangkan pemerintah nampaknya berusaha untuk menjelaskan kenaikan ini dan terdengar pula kekhawatiran akan meningkatnya jumlah balita gizi buruk akibat keadaan ini. Tetapi tindakan konkrit untuk mengatasi kenaikan harga susu dan dampaknya belum terlihat.
Ada beberapa liputan berita di televisi dan media cetak yang memaparkan keingingan masyarakat untuk mendapatkan susu murah bahkan gratis untuk bayi mereka. Bahkan ada pula yang mendambakan semacam operasi pasar seperti halnya yang terjadi untuk beras dan minyak goreng. Untungnya belum ada dan mudah-mudah tidak terjadi tindakan seperti ini. Operasi pasar atau pembagian susu formula tentunya tidak sejalan dengan kode etik internasional tentang pemasaran produk pengganti ASI yang telah diratifikasi dengan dikeluarkannya Keputasan Menteri Kesehatan no. 237/Menkes/SK/IV/1997 mengenai pemasaran produk pengganti ASI.
Masyarakat nampaknya melupakan atau tidak paham bahwa susu sapi bukanlah makanan terbaik untuk bayi dan anak berusia kurang dari 2 tahun. Sehingga ada banyak ibu-ibu yang mengkhawatirkan terjadinya dampak negatif dari mahalnya harga susu pada bayi mereka. Sangat mungkin mereka tidak tahu bahwa sebenarnya penggunaan susu formula telah terbukti mengakibatkan banyak dampak buruk pada bayi.

Promosi ASI
Momentum kenaikan harga susu ini seharusnya dipakai oleh pemerintah untuk meningkatkan penggunaan ASI dengan menjelaskan keunggulan ASI dibanding dengan susu formula. Berbagai penelitian membuktikan bahwa masih banyak ibu yang tidak tahu tentang hal ini. Sehingga respon segera yang perlu dilakukan saat melambungnya harga susu adalah memberikan penjelasan tentang keunggulan ASI dan cara pemberian ASI yang benar.
Selain itu juga perlu ada upaya konkrit untuk menciptakan lingkungan yang memungkinan ibu-ibu untuk menyusui anak-anak mereka dengan benar. Cuti melahirkan yang terlalu singkat misalnya berperan besar untuk menghambat kemampuan ibu-ibu yang bekerja dalam memberikan ASI. Terlalu sibuknya ibu-ibu oleh pekerjaan di rumah juga berpengaruh terhadap menurunnya produksi ASI. Sehingga selain informasi untuk masyarakat, juga sangat diperlukan kebijakan dan peran serta semua pihak untuk lebih memungkinkan ibu-ibu di Indonesia memberikan ASI dengan benar.
Informasi tentang keunggulan ASI seharusnya diberitakan dengan jelas melalui berbagai media, salah satunya adalah media massa. Perlu diberitakan bahwa selama 6 bulan pertama kehidupan bayi, mereka hanya perlu ASI saja. Ini yang disebut sebagai ASI eksklusif. Setelah itu, ASI tetap merupakan makanan terbaik sampai anak berusia 2 tahun. Dalam usia tersebut, sebenarnya tidak diperlukan susu selain ASI. Yang perlu diberikan adalah makanan yang mendampingi pemberian ASI yang sering disingkat MP-ASI atau makanan pendamping ASI.
Keunggulan tentang ASI ini tidak terbantahkan dan telah direkomendasikan oleh Badan Kesehatan Dunia dan juga oleh pemerintah Indonesia melalui Departemen Kesehatan. Sehingga jika ibu-ibu di Indonesia telah tahu tentang hal ini dan mampu untuk memberikan ASI dengan benar, seharusnya kenaikan harga susu tidak akan berpengaruh terhadap keadaan gizi anak bawah 2 tahun .
Pada anak di atas 2 tahun pun, kenaikan harga susu seharusnya tidak berpengaruh banyak, jika masyarakat tahu pola makan yang berimbang. Susu memang bergizi baik, tetapi ada banyak makanan lain yang bila dikonsumsi dalam jumlah yang cukup dan beragam akan dapat menggantikan kebutuhan gizi yang bersumber dari susu sapi.

Disamping harga susu yang melambung akhir-akhir ini, sebenarnya konsumsi susu masyarakat Indonesia memang rendah jika dibandingkan negara-negara berkembang lainnya. Paling tidak ada dua sebab utama yaitu produksi susu Indonesia yang rendah dan ketidakbiasaan meminum susu. Secara jangka panjang, jika ingin meningkatkan konsumsi susu maka harus juga ada upaya untuk meningkatkan produksi susu dalam negeri. Peningkatan produksi susu dan upaya menahan harga susu perlu dilihat sebagai upaya memberikan pilihan kepada keluarga Indonesia dalam mencukupi kebutuhan gizi mereka.

Salah satu hal penting lainnya dari momentum kenaikan harga susu ini adalah mengingatkan kita semua tentang pentingnya meningkatkan ketahanan pangan keluarga. Selain susu, ada banyak sumber kebutuhan gizi lainnya yang perlu untuk diperhatikan ketersediaan dan daya beli terhadapnya. Kenaikan harga susu disusul dengan ketidakmampuan masyarakat untuk membelinya perlu dilihat sebagai makin berkurangnya pilihan atas sumber makanan pemenuh kebutuhan gizi keluarga.

Mudah-mudahan baik masyarakat, media massa dan pemerintah memberikan respon yang tepat atas kenaikan harga susu ini. ASI haruslah yang gencar dipromosikan bukanlah usul untuk melakukan operasi pasar susu formula apalagi pembagian susu gratis. Secara jangka panjang, peningkatan produksi dan stabilitas harga susu sepatutnya diperhatikan pemerintah sama halnya dengan bahan makanan lainnya. Sehingga keluarga Indonesia memiliki cukup pilihan dan mampu mendapatkan berbagai bahan makanan untuk demi meningkatnya kualitas kesehatan anak-anak Indonesia.

Monday, May 7, 2007

AIDS: global disease, local action

AIDS is one of the main concerns of international health problems. Therefore, a lot of NGOs’ resources have been invested for this theme. AIDS is accepted as a global disease. However, each people groups understand it differently and it affects them also differently. Then, clear understanding of how people in specific circumstance perceive this disease is needed. The following description explains the importance of medical anthropology in the AIDS era.

In Papua, the most East province of Indonesia, AIDS situation uniquely has a different portrait compare to other provinces. Although HIV and AIDS cases are increasing significantly in the last 10 years in Indonesia, its prevalence is still moderately low. However, the epidemic is already happened in Papua. While in most part of Indonesia, HIV and AIDS is concentrated within high-risk populations, in Papua the epidemic has already spread into the general population[1]. (KPA 2006, Priohutomo 2006)

With total population of only less than 3 million, Papua has the second highest HIV and AIDS cases in Indonesia. However proportionally, Papua has the highest prevalence compare to other provinces. The latest statistic from Ministry of Health mentions that the AIDS prevalence in Papua is 51.42 (/100,000 population), while Indonesia in total is only 3.61. (Depkes RI 2007)

The HIV and AIDS statistic in Papua does not only differ in case number but also in its characteristic. The MOH reports that 94% of the mode of transmission in Papua is heterosexual, while in Indonesia generally IDU is the most frequent mode (50.3%). Women in Papua are at greater risk of being infected by HIV than women in the rest of Indonesia. In Papua, 45% of HIV and AIDS cases are female, while in Indonesia only 19%[2].
The Papua HIV and AIDS statistic also reveals that the many of AIDS patients are predicted to be infected while they were aged below 20 years old. It is concluded from the fact that there are 43% of AIDS patients ranged in 20-29 years old interval as seen in the following chart.[3]

The first AIDS case in Papua was found in October 1992. HIV may have been introduced to Papua by commercial fishermen. Fifteen years after the initial case, 883 people have been infected, 104 among them have died. HIV and AIDS have feared many people in Papua especially people living in towns. Stigma and discrimination to the people living with HIV and AIDS are happened followed the rising case number of the disease. In this small town where gossip is easily spreading, discrimination is also simply following the gossip. At the end, it makes the livelihood of PLHIV is threaten.

A controversy explanation on how the figure of HIV and AIDS in Papua differs from the rest of Indonesia was raised few years ago. It was an opinion that the epidemic is happened for an ethnic cleansing (Butt 2005). However, Butt (2005) explains a more realistic explanation. She utters that poverty, lack of education, poor access to health services and rapid changing in social and cultural conditions are the main causes of the epidemic in Papua. Many other contemporary explanations in discussions about the spread of HIV and AIDS in Papua rest upon stereotypes about a sexually non-conformist way of life such as ritual semen exchange, trading of wives. Because of those practices do not conform to the ideals of normal sex, which is monogamous, the sex practices of Papuan are often highlighted as being deviant, dangerous and associated to the epidemic. However, Butt et al. (2002) offers a balanced explanation. She says that rapid modernization is the critical factor in the fast spreading of HIV and AIDS. Hundreds of years, with geographical isolation, Papuan practiced their rituals of marriage with values and ideas of sexual life underneath it. Now many Papuans have left their ideals of reproductive norms and the kinship rules. New values have been intruding their indigenous norms. Access to new potential sex partners outside their cultural groups has led more Papuans to seek money or goods in exchange for sex.

Butt et al. (2002) also report that the rates of domestic violence, forced sex, and commercial sex have increased significantly as a lot of money pour into this province. Because of that women are at greater risk of abuse than before. The study also reports that young generation has less interest in the elderly norms of sex and marriage. The study found that social change has negatively influenced the youth sexual behavior. Extra-marital sex is frequently practiced among them. The age of first sex encounter is also lowering.

The description made by Butt (2002) explains why young generation in Papua at the highest risk to be infected by the virus. Young people in very young age involve in sex practices. Porn movies are easily found, sex for money is also practiced among the female youth. Many of the youth are also involved in the glue sniffing, smoking and alcoholism. Towns are magnets for young people living in countryside. They come to the town to get better education or employment. Here, they live with a very minimum support and supervision from their families.

Role of medical anthropology at HIV and AIDS policy making
The above description shows that the epidemiology (and its sub-field, social epidemiology) has revealed that heterosexual intercourse is the main measure for HIV transmission. It also has found that multi-partners and early sex correspond to it. Outsiders opinion may arise because of this finding, therefore stereotyping is frequently uttered by the immigrant or even the humanitarian health worker that the native’s sexual practices do not conform to the ideals of normal sex. Papuan are often highlighted as being deviant, dangerous and associated to the epidemic. Thanks to the ethnographies made in Papua that has contributed to a comprehensible explanation for the underlying causes which lay at the fast modernization and social change, poor education for the native, insufficient access to health care, limitation to access to new economic resources etc (Butt 2003 and 2005). Therefore, HIV and AIDS prevention should be designed not only to address the visible causal of HIV spreading, but also tackle the bottom casual.

Medical anthropology makes a different on the ground
The role of medical anthropology in HIV and AIDS intervention is not only located at macro or policy making level, but also valuable at the program implementation. The following is a simple example of it. Children’s friendship among youth is widely used to carry out health promotion especially HIV and AIDS. This is defined as peer education. This approach is designed firstly to increase young people’s knowledge about sexual health and drug use in the context of HIV and AIDS, provide them good personal development and enable them to become effective educators of their own peers (Backett-Milburn, K. & Wilson, S. 2000).
World Vision Indonesia has been implementing the peer education approach since 2001 at its HIV and AIDS projects in Jakarta and Papua. The organization found that recruitment process is an important issue to be considered to contribute to a successful peer education project. During previous projects implementation, most of the participants were selected by their teachers. As a result, most of them are classified as good students, diligent and smart. Focus group discussions with youth conducted by WVI found that friendships among the student are not homogeneous. The youth are grouped by several principles. The smart and ‘nerd’ pupils hang around together. The junkies make friendship among them. If a peer education project only selects one group of students instead of various kinds of them, the HIV and AIDS prevention messages will not be reached by all students. Therefore, recruitment of youth has to be done to all groups of students not only the smart ones. The simple finding that was produced from a series of FGDs was a straightforward contribution of medical anthropology to the humanitarian health work.
[1] See chart 1
[2] See chart 2 & 3
[3] See chart 4

Saturday, March 3, 2007

WAMENA: RISIKO TINGGI HIV Anak-anak muda dari desa yang tinggal di Wamena

Seperti telah diungkapkan pada bagian-bagian terdahulu bahwa Wamena menjadi magnet bagi anak-anak muda di desa-desa sekitar Wamena[1]. Di kota ini terdapat banyak sekali anak-anak yang bersekolah di SMP dan SMA di ini. Terdapat 8 SMP dan 6 SMA dengan jumlah pelajar SMP sejumlah 3866 dan SMA sebanyak 3235 pelajar. Suatu jumlah yang sangat banyak jika dibandingkan dengan jumlah penduduk yang ada di Wamena, yaitu sebanyak 48212 jiwa. Dari sekelompok informan pelajar di sebuah FGD, hampir 75% dari mereka adalah pendatang dari desa-desa. Jumlah ini tidak termasuk anak-anak muda yang tidak bersekolah di Wamena.

Mereka pada umumnya berasal dari luar kota Wamena. Sebagian besar dari mereka tinggal jauh dari orang tua mereka. Mereka tinggal bersama dengan saudara mereka atau tinggal bersama sesama pelajar di honai-honai. Seperti telah diungkapkan pada bab-bab terdahulu, bahwa mereka menjadi sangat independent. Orang tua mereka dan gereja tidak lagi bisa menjaga mereka. Keadaan ini merupakan kerentanan bagi mereka. Mereka bisa bebas untuk berpacaran sampai jauh malam atau bahkan menginap dengan pacarnya. Mereka bisa pergi ke pesek tanpa perlu untuk diketahui atau meminta ijin dari orang tua mereka. Kebebasan adalah menjadi sebuah kerentanan bagi anak-anak muda ini.

Anak-anak muda yang tidak sekolah di kota
Secara khusus anak-anak muda yang tidak sekolah berada dalam risiko yang lebih tinggi. Mereka umumnya ada di Wamena untuk bekerja dalam sector informal. Kerentanan ini terjadi karena selain jauh dari orang tua tetapi mereka juga memiliki waktu bebas yang lebih banyak.

Jika anak-anak yang bersekolah dapat dijangkau melalui sekolah-sekolah yang ada di Wamena. Sedangkan mereka yang tidak bersekolah dapat dijangkau misalnya melalui kelompok-kelompok informal, misalnya kelompok tukang becak, kelompok penghirup lem Aibon, kelompok tukang cuci mobil, kelompok kondektur taxi, kelompok pekerja buruh angkut di toko-toko.
[1] Bahkan seorang anak yang ditemui oleh penulis berasal dari sebuah desa yang jaraknya 30 hari jalan kaki menuju Wamena.

WAMENA: Orang dewasa dalam suasana perubahan yang cepat

Topik ini adalah bagian tersulit dalam tulisan ini, karena didalamnya terdapat muatan-muatan sensitive dimana para pejabat terlibat didalamnya. Tetapi saya menggali informasi dari anak-anak yang polos dan dari orang-orang di desa yang juga masih sederhana dan saya yakin tidak punya maksud untuk mendeskriditkan mereka.

Seorang anak yang berusia sekitar 17 tahun, dengan bahasanya yang sederhana bercerita tentang mobil-mobil yang berkaca gelap yang mengajak anak perempuan muda dari pinggir jalan. Cerita yang dia sampaikan tidak berbeda jauh dengan cerita yang saya dapatkan dari artikel yang ditulis oleh Leslie Butt. Bahwa mereka inilah –siapa pun yang ada di dalam mobil-mobil itu- salah satu rantai kehidupan seks para remaja. Pertanyaannya adalah siapa yang ada di dalam mobil-mobil itu. Yang pasti mereka bukan orang desa atau anak-anak.

Seorang anak yang lain bercerita yang agak berbeda, tetapi ia tahu siapa yang ada di mobil tersebut. Katanya bahwa suatu saat pernah ia dihampiri oleh sebuah mobil. Dan seorang yang ada di mobil tersebut mengajaknya masuk kedalam. Ia pun masuk kedalam mobil itu. Sesampai di dalam mobil ia melihat ada banyak minuman beralkohol. Pengemudi mobil itu memberikan salah satu botol itu kepadanya. Tetapi ia menolak dan minta untuk turun. Menurut anak ini, orang yang ia temui adalah seorang pejabat[1]. Terlepas dari kebenaran cerita anak ini, paling tidak kita bisa menangkap bahwa anak-anak tahu bahwa ada orang-orang dewasa (yang mungkin adalah orang-orang penting dan berpengaruh) yang juga terlibat dalam ‘kenakalan’ yang mereka juga lakukan, yaitu minum dan mabuk, dan seks bebas (untuk anak-anak ada kenakalan lain yaitu menghirupkan lem Aibon)

Tiga orang bapak dalam diskusi di sebuah desa yang jaraknya sekitar 1 jam dari kota Wamena menceritakan tentang seorang kepala suku yang pergi ke kota dan menerima uang dari pemerintah. Setelah itu ia pergi ke warung di mana Perempuan pekerja seks bekerja. Setelah itu ia kembali ke desanya dan akibatnya kesepuluh istrinya sakit kelamin dan semuanya bersama-sama ke kota untuk berobat.[2]

Seorang pendeta setempat menjelaskan tentang perilaku orang dewasa dengan sangat jelas. Ia menjelaskan bahwa ada tiga masalah yang ada di Jayawijaya dan sekitarnya yaitu pertama adalah seks bebas yang dilakukan oleh anak muda, kedua adalah perselingkuhan dari mereka yang sudah menikah, dan yang ketiga adalah korupsi yang sangat masif. Ketiga masalah ini sepertinya tidak jauh dari apa yang penulis dapati dari informan dan literature.

Melalui bab ini, kita melihat bahwa orang dewasa juga mengalami revolusi budaya yang luar biasa saat mereka menikmati perubahan yang drastic. Uang yang melimpah, ‘godaan’ perempuan pendatang berambut lurus dan berkulit putih dan minuman beralkohol menjadi katalisator perubahan perilaku seksual orang dewasa[3].
[1] Ia tidak menjelaskan lebih jelas siapa pejabat itu tetapi ia yakin bahwa ia kenal dengan orang itu.
[2] Ini sebuah pengamatan dari ‘lay people’ yang luar biasa. Walaupun mereka tidak bersekolah dan tidak bisa berbahasa Indonesia, mereka telah mengetahui konsep infeksi yang sederhana dan menghubungkannya dengan perilaku.
[3] Keberadaan PSK yang didatangkan dari luar Papua ditulis dengan jelas oleh Leslie Butt dalam dua papernya.

WAMENA:Efek samping pembangunan pada anak muda

Lembah Beliem mengalami revolusi budaya yang sangat cepat. Orang-orang yang 50 tahun yang lalu hanya mengenal peralatan dari batu kini berhadapan dengan pesawat terbang, TV, Laptop yang dibawa oleh orang asing (termasuk staf WVI). Dulu mereka menyampaikan informasi dan pendidikan secara verbal. Honai, lading dan hutan adalah tempat anak-anak ber’sekolah’. Seorang ayah mendidik anak laki-lakinya demikian juga seorang ibu mendidik anak perempuannya. Kini pendidikan dilakukan oleh guru di sekolah-sekolah. Mereka diajarkan budaya baru yaitu budaya baca tulis. Anak-anak yang saat ini bersekolah adalah generasi pertama atau kedua dari budaya baca tulis ini. Banyak dari orang tua mereka tidak pernah bersekolah sama sekali.

Sayangnya sekolah yang baik hanya tersedia di kota Wamena. Akibatnya ribuan anak dengan segala upaya yang keras merantau ke Wamena. Seorang tukang becak yang bersekolah di sebuah SMP di Wamena menceritakan bahwa ia berjalan 4 hari dari desanya untuk mencapai Wamena. Ia kini tinggal di sebuah Honai bersama dengan teman-temannya. Dia membiayai sendiri sekolah dan kebutuhan sehari-harinya dengan menjadi tukang becak dan juga menanam hipere di sekitar honainya. Cerita yang sama juga diceritakan oleh beberapa tukang becak lainnya dan juga beberapa siswa-siswi di sebuah SMP di kota Wamena. Anak-anak muda yang mandiri dan berani untuk menghadapi hidup sendiri[1].
Cerita ini juga diceritakan oleh beberapa orang dewasa di desa[2]. Tetapi mereka menambahkan cerita tersebut bahwa akibat dari anak-anak muda tersebut merantau jauh dari orang tua dalam waktu yang sangat lama. Orang tua di desa tidak bisa lagi mengontrol mereka. Orang-orang tua ini tahu bahwa anak-anak mereka setelah di kota, mereka melakukan banyak hal yang bertentangan dengan budaya dan ajaran agama Kristen. Tetapi mereka tidak punya ‘kuasa’ lagi atas mereka. Anak-anak itu jauh dan mencari makan sendiri. Mereka berkata:
“Mereka sudah lupa apa yang Gereja ajarkan.”

Anak-anak lebih mendengar apa yang teman-teman mereka katakan. Informasi tentang seks misalnya, mereka berusaha untuk cari tahu melalui film porno yang tersedia di pasar di Wamena. Beberapa kios secara sembunyi-sembunyi memutar film porno dengan menggunakan TV. Anak-anak muda yang pada umumnya adalah orang Papua asli menonton dengan hanya membayar Rp. 1000 atau 2000 saja. Seorang anak berkata:
“Saya tahu tentang hal itu dari film itu.”

Pembangunan yang diharapkan dapat meningkatkan kualitas manusia, ternyata memiliki efek samping yang sangat merugikan generasi muda. Pendidikan telah berhasil menarik mereka dari desanya yang terpencil, tetapi juga menarik mereka dari tatanan kehidupan mereka yang semula. Gereja yang baru saja 50 tahun merubah kehidupan mereka, juga terlupakan oleh mereka. Akses informasi yang lebih baik juga dimanfaatkan untuk menyebarkan informasi yang tidak baik untuk anak-anak muda. Seorang anak dari desa yang bersekolah di Wamena bercerita bahwa ada telepon genggam yang dapat menayangkan film porno. Dan dia akhirnya melihat adegan-adegan itu dari telepon gengggam milik temannya itu. Sebuah lompatan budaya yang sangat luar biasa.
[1] Ini sebenarnya adalah suatu modal yang baik untuk memotivasi mereka untuk mau terlibat dalam kegiatan ‘peer educator’ atau pendidikan teman sebaya. Motivasi mereka untuk merantau, berdikari harus bisa digunakannya juga untuk menjadi motivasi untuk ‘jaga diri baek-baek’ dan memberitakan ini kepada teman-teman mereka.
[2] Orang-orang ini berkomunikasi dengan bahasa Lani dan diterjemahkan kepada saya oleh seorang FP. Mereka adalah generasi pertama yang menjadi Kristen di desanya dan belum pernah sekolah. Sedangkan anak-anak mereka adalah generasi pertama yang bersekolah.

WAMENA:Seks pra-nikah di masa lalu

Peraturan tentang hal ini diatur secara beragam oleh masing-masing suku. Tiga orang teman dari lembah Baliem menjelaskan saya bagaimana hal ini diatur oleh leluhur mereka. Mereka yang ketahuan melakukan hubungan seks sebelum resmi menikah akan mendapat hukuman adapt berupa denda babi atau bisa menyulut perang antar mereka. Dengan ekspresi serius mereka berkata,”Dulu itu hukuman adapt berat. Jadi anak-anak tidak buat macam-macam. Tapi sekarang anak-anak tidak bisa diatur lagi.”
Selain aturan dalam berupa sangsi, seks pra nikah juga terhindari karena usia pernikahan yang muda untuk perempuan. Selepas mendapatkan menstruasi yang pertama, seorang perempuan akan mendapatkan ritual adapt untuk menandakan bahwa ia sudah siap untuk menikah. Dan segera setelah itu bila ada laki-laki yang tertarik maka ia memberitahu orang tuanya untuk menyatakannya kepada orang tua perempuan itu. Setelah itu kedua anak muda itu tidak boleh bertemu satu sama lain. Anak laki-laki itu kemudian bekerja untuk mengumpulkan cukup babi untuk ritual perkawinannya.[1]
[1] Cerita ini disimpulkan dari beberapa teman staf ADP dan juga anak-anak yang terlibat dalam FGD, juga beberapa orang di desa. Juga diperkuat oleh beberapa literature.

WAMENA: Budaya semen pada daerah sabuk semen

Pemahaman tentang cairan tubuh manusia, misalnya semen, air susu ibu, darah menstruasi dan sekresi serviks dan uterus pada masyarakat Papua pada umumnya dan juga lembah Baliem sangat penting untuk diketahui karena memberikan dasar bagi pemahaman kita terhadap perilaku seksual di wilayah kerja KITA BISA.

Khusus tentang semen, pada masyarakat di wilayah pesisir, pulau-pulau dan pedalaman Papua dan Melanesia terdapat pemahaman tentang semen yang dikenal sebagai budaya semen. Arti dan sikap terhadap cairan ini beragam di tiap daerah. Pada masyarakat Marind Anim, Kimam, Awyu, Mapi dan Asmat, semen dihubungkan dengan kekuasaan dan kekuatan. Misalnya pada masyarakat Marind Anim, terdapat sebuah ritual dimana orang laki-laki menelan semen dari orang-orang tertentu, mereka percaya bahwa bila mereka tidak menelannya mereka tidak akan bertumbuh menjadi seorang laki-laki. Sedangkan di dataran tinggi, termasuk di lembah Baliem, semen dan cairan vagina dianggap merupakan racun. Mereka termasuk adalah suku Lani, Dani, Yali dan Mee. Pemahaman seperti ini mengatur hubungan antara laki-laki dan perempuan.

WAMENA: Keadaan anak muda saat ini

Beberapa FGD memberi informasi tentang bagaimana anak-anak muda bergaul dan mengisi waktu-waktu mereka. Sekelompok anak-anak muda yang tinggal di sebuah asrama berusia sekitar 16-18 tahun yang berasal dari daerah sekitar Wamena menjelaskan bahwa anak-anak muda sering terlibat dalam kegiatan yang mereka sebut pesta, baku goyang atau disko yang didalamnya diselingi oleh hubungan seks. Walaupun mereka mengaku tidak pernah terlibat dalam kegiatan tersebut. Mereka begitu antusias untuk menjelaskan bagaimana kegiatan-kegiatan itu terjadi. Kelompok FGD yang lain yang dilakukan di sebuah sekolah menengah atas juga memberikan deskripsi yang sama, juga dengan antusiasme yang sama. Dua FGD dilakukan pada sebuah acara anak muda di gereja. Dan tentu saja gambaran yang disampaikan mereka juga tidak berbeda. FGD-FGD berikutnya mengatakan hal yang sama. Jika disimpulkan dengan satu kalimat bahwa anak-anak muda di wilayah tersebut sering terlibat dengan pesta dan didalamnya mereka saling berpasang-pasangan dan melakukan hubungan seks.

Tetapi apa yang dilakukan oleh mereka tidak sesederhana itu. Suatu saat, dalam perjalanan menuju ke sebuah desa, seorang teman yang adalah orang asli daerah itu, berkata kepada saya sambil menunjuk sebuah kendaran mini bus. Katanya, “Itu lihat, itu mobil sedang mengangkut anak-anak menuju ke tempat pesek.” Teman tersebut menceritakan bahwa jika akan ada sebuah pesta di suatu tempat, anak-anak muda dari berbagai tempat akan hadir. Bahkan mereka akan berusaha dengan segala cara untuk bisa ke sana.

Pesek sebenarnya adalah sebuah praktek yang baru dilakukan oleh anak-anak muda di wilayah Wamena dan sekitarnya. Pesek dikenal juga sebagai pesta, disko atau baku goyang. Biasanya acara ini menggunakan momentum acara-acara resmi. Misalnya seorang anak dari desa bercerita bahwa suatu saat gerejanya sedang melakukan acara pengumpulan dana untuk gereja tersebut. Pada acara ini banyak orang berkumpul termasuk anak-anak muda. Pada malam harinya, anak-anak muda berkumpul dan mengadakan pesek. Anak yang lain bercerita bahwa pesek bisa dilakukan juga setelah acara pesta perpisahan sekolah.

Lagu-lagu akan diputar, mereka juga bernyanyi dan bergoyang. Sambil saling memperhatikan satu sama lain. Lalu ada anak yang tertarik dengan lawan jenisnya, mereka menggunakan seorang anak sebagai mediator untuk menyampaikan maksud untuk bisa berhubungan lebih jauh, atau bisa juga mereka menggunakan media berupa gelang untuk menyampaikan maksud tersebut. Selanjutnya bila mereka berdua saling suka, mereka akan menyingkir dari pesta tersebut ke honai yang kosong atau ke lading atau semak-semak untuk melakukan hubungan seks.

Pada kajian ini, anak-anak sebagai informan diminta untuk menggambar apa saja yang mereka lakukan saat mereka berpacaran. Gambar disamping ini adalah salah satu gambaran dari apa yang mereka lakukan saat berpacaran. Mereka juga mengungkapkan bahwa banyak terjadi anak perempuan menjadi hamil. Anak-anak perempuan yang menjadi informan juga menyatakan hal yang sama. Yang berbeda adalah mereka menjelaskan dengan jelas apa yang anak-anak perempuan biasa lakukan setelah mereka mengetahui jika mereka hamil. Berbagai upaya dilakukan untuk menggugurkan kandungan. Mereka mengatakan mereka menggunakan obat-obat tertentu untuk menghentikan kehamilan itu. Alasan yang diberikan mengapa mereka berusaha untuk menggugurkan adalah karena mereka malu dan tahu bahwa mereka tidak akan bisa bersekolah lagi jika nanti mempunyai anak. Sedang anak laki-laki tidak menjelaskan tentang upaya untuk menggugurkan tetapi hanya menjelaskan bahwa ada beberapa anak perempuan yang mereka kenal yang akhirnya melahirkan anak dan kemudian anak-anak yang lahir itu disebut sebagai anak-anak rumput.

WAMENA: Anak muda dan modernitas

Seorang teman berkata kepada saya bahwa anak-anak muda di daerah ini menyukai pesta seks[1]. Kemudian dia juga berkata bahwa ini terjadi karena budaya asli juga mengijinkan berganti-ganti pasangan. Tentu saja saya tidak langsung percaya. Ada beberapa sebab saya ragu dengan pendapat ini. Sebab pertama adalah yang mengatakan ini adalah seorang teman yang bukan penduduk asli. Yang kedua adalah ketika saya kembali bertanya bagaimana dia bisa menyimpulkan hal ini, dia menjawab bahwa dia berkata demikian dari kenyataan bahwa memang begitu. Jawabannya tidak membuat saya yakin. Karena saya percaya bahwa apa yang terjadi saat ini bukan berarti itu berakar dari budaya lama.
Kemudian saya bicara dengan beberapa orang-orang asli lembah Beliem. Mereka adalah seorang guru, beberapa pendeta, beberapa anggota gereja dan beberapa orang biasa. Seorang dari mereka berkata:
“Ah tidak, kami dulu tidak buat itu. Itu baru saja dibuat oleh anak-anak muda.”Sebuah pernyataan yang sangat kontradiksi dengan kesimpulan yang dibuat oleh teman saya tadi. Kontradiksi pemahaman ini harus diselesaikan. Karena kalau dibiarkan, sangat sulit untuk menyusun intervensi yang “culturally sound”. Pemahaman yang salah atau tidak tepat akan mengakibatkan penyusunan strategi pencegahan HIV/AIDS yang tidak tepat.
[1] Pesek adalah istilah yang digunakan untuk sebuah aktifitas yang dilakukan oleh anak-anak muda dan juga sedikit orang dewasa yang biasanya dilakukan pada malam hari. Di acara ini anak-anak muda bernyanyi, menari dan kemudian berpasangan-pasangan dan akhirnya melakukan hubungan seks di tempat-tempat tersembunyi.

Interaksi awal teman-teman di lembah baliem dengan “dunia luar”

Ekspedisi bangsa-bangsa Eropa telah berlangsung sejak abad ke 15. Salah satu daerah eksplorasi tersebut adalah kepulauan rempah-rempah (Spice Islands). Bangsa Portugis, Spanyol dan akhirnya Belanda berebut kekuasaan untuk mengeruk kekayaan alam negeri-negeri merdeka ini. Keserakahan akhirnya menindas masyarakat di Nusantara.

Berbeda dengan pulau-pulau disekitarnya yang telah banyak dikunjungi oleh pedadang-pedagang Asia dan kemudian Eropa. Penduduk asli Papua relative kurang mengalami interaksi dengan “dunia luar”, bahkan mereka yang hidup di pesisir pantai Papua sekalipun. Salah satu sebab utama adalah tidak adanya daya tarik rempah atau produk eksotik lainnya, seperti yang ditawarkan oleh pulau-pulau disekitarnya. (Bensley J, 1994)

Sebenarnya pantai Papua telah ditemukan pada tahun 1511 oleh dua orang Portugis yaitu Antonio d’Abreu dan Francesco Serrano dalam pencarian mereka untuk menemukan penghasil rempah-rempah. Setelahnya beberapa ekspedisi sekedar ‘melewati’ daerah ini saja, tanpa ada keingingan untuk masuk lebih dalam. Interaksi dengan kesultanan Tidore telah dilakukan sebelum jaman colonial, tetapi hubungan ini hanya terjadi dengan masyarakat pesisir dan superficial saja (Bensley J, 1994). Sampai akhirnya pada tahun 1714 sebagian wilayah pulau Papua bagian Barat menjadi bagian kekuasaan Belanda. Tetapi tentu saja cara penguasaan Belanda terhadap Papua sangat berbeda dengan daerah lainnya. Karena kesulitan alam yang luar biasa dan tidak adanya daya tarik ekonomi yang besar pada saat itu, Belanda hanya mendirikan beberapa pos saja di wilayah ini sebagai tanda kekuasaannya atas daerah ini, itupun terjadi setelah puluhan tahun lamanya. Sebuah pos didirikan di Manokwari dan Fak-Fak pada tahun 1898. Sedangkan di Merakue bau didirikan pada tahun 1902. Jayapura, yang dahulu bernama Hollandia, didirikan pada tahun 1910. Tetapi sebenarnya kelompok misionaris dari Belanda telah melakukan kontak dengan masyarakat pesisir 43 tahun sebelum pos pertama didirikan oleh pemerintah Belanda. (Bensley J, 1994).

Kontak dengan masyarakat setempat hanya terjadi di sekitar kota-kota pesisir tersebut saja. Sangat sedikit kontak dengan masyarakat pedalaman. Mereka yang ingin mengeskplorasi wilayah pedalaman Papua selalu berhadapan dengan alamnya ganas, malaria, rawa-rawa atau pegunungan tinggi sehingga sangat jarang yang berani untuk memasuki wilayah tengah di mana lembah Baliem berada. Baru pada tahun 1907, sekelompok orang yang diketuai H.A. Lorentz melakukan upaya untuk mendaki puncak gunung yang tertutup salju. Tetapi usaha ini gagal karena penyakit dan ketidakramahan penduduk setempat. Sampai akhirnya mereka dapat juga mencapai batas salju Mt. Wilhelmina pada ketinggian 14,786 feet pada tahun 1910. Puncak gunung ini baru dicapai oleh Kapten Herderche di tahun 1913. Tetapi ekspedisi-ekspedisi diatas hanya bertujuan untuk mencapai puncak gunung dan tidak terlalu banyak interaksi dengan masyarakat local terjadi. (Naylor LL , 1974).

Baru pada tahun 1920-21, sebuah ekspedisi ilmiah yang diketuai oleh Kapten Van Overeem bertemu dengan masyarakat Dani, yang mereka gambarkan sebagai “angkuh dan agresif”. Satu tahun kemudian seorang anggota tim yang terdahulu, yaitu kapten Kremer melakukan ekspedisi yang terkenal menimbulkan dampak negative bagi masyarakat Dani. Ekspedisi ini membawa wabah penyakit disentri yang menyebabkan banyak orang mati dan sakit.

Tetapi ekspedisi besar yang banyak melakukan interaksi dengan masyarakat setempat adalah ekspedisi Archbold. Ekspedisi di tahun 1938-39 ini adalah sebuah ekspedisi yang penting dalam penemuan Wamena dan lembahnya yang sangat luas. Ekspedisi ini adalah sebuah ekspedisi botani yang dipimpin oleh Richard Archbold, dari American Museum of Natural History, yang menjadi orang Kaukasia pertama yang menginjakan kaki di sana. Dalam pengamatannya dari udara, dia melihat bahwa lahan pertanian yang tersusun secara geometric yang teratur lengkap dengan saluran airnya. Dia menulis bahwa Wamena seperti lahan pertanian di Eropa Tengah. Pendapat ini tidak terlalu berlebihan. Walaupun mereka masih hidup dalam jaman batu, peneliti-peneliti percaya bahwa lembah Baliem telah dikembangkan sejak paling tidak 9.000 tahun yang lalu.[1]


Interkasi dengan misionaris
Interaksi dengan “dunia luar” yang sesungguhnya terjadi saat para misionaris memberanikan diri menembus pegunungan yang mengitari lembah Baliem ini. Pada tahun 1954, pemerintah Hindia Belanda mengijinkan kelompok misionaris untuk memasuki lembah Baliem. Kelompok misionaris pertama yang memasuki lembah Baliem adalah Christian and Missionary Alliance (CAMA) (Bensley J, 1994). Kemudian menyusul Australia-Pacific Christian Mission (APCM), Australian Baptist Missionary Society (ABMS) dan Regions Beyond Missionary Union (RBMU). Beberapa tahun kemudian kelompok-kelompok ini membagi wilayah pelayanan seperti tercantum dalam table berikut ini:
Walaupun mendapat tantangan yang keras, akhirnya masyarakat di lembah Baliem dan sekitarnya menjadi Kristen. Bersamaan dengan upaya penginjilan, para misionaris membuka akses transportasi melalui jalur udara ke wilayah-wilayah terpencil. Para misionarislah yang pertama kali melakukan pengambangan masyarakat sebelum pemerintah dan lembaga lain masuk. Misionaris juga bertindak sebagai buffer bagi keadaan politik di wilayah ini. Melalui perubahan politik yang sangat cepat berganti dari kekuasaan Belanda menuju penguasaan sementara PBB dan akhirnya kekuasaan pemerintah Indonesia, para misionaris bertindak tanpa berpihak kepada satu pihak.

Dataran tinggi Baliem di masa awal pemerintahan RI

Pada tahun 1963, setelah mengalami periode kekuasaan Belanda yang sangat panjang dan kemudian pengelolaan sementara oleh PBB, wilayah Papua bagian Barat akhirnya menjadi bagian dari Indonesia. Bersamaan dengan itu, sebuah nama baru diberikan, yaitu Irian Barat dan kemudian berganti menjadi Irian Jaya. Sebelumnya, pemerintah Belanda berkeberatan untuk menyerahkan Papua ke tangan Indonesia. Salah satu alasannya adalah bahwa masyarakat Papua adalah termasuk etnik Melanesia, berbeda dengan masyarakat Indonesia lainnya yang termasuk etnik Austronesia. Belanda juga meragukan kemampuan Indonesia – negara yang masih muda – untuk mengelola suatu wilayah yang sangat terisolasi dan masih ‘terbelakang’.
Sebuah mandate untuk melakukan referendum dilakukan untuk menentukan pendapat rakyat Papua. Referendum tersebut dilakukan di tahun 1968-69 yang disebut sebagai “Act of free choice’ yang akhirnya menentapkan wilayah ini menjadi bagian Indonesia. Pada bulan Maret 1973, propinsi ini menggunakan nama Irian Jaya atau “Glorious Irian”.
Lembah Baliem di era Indonesia mengalami perubahan budaya dan pembangunan dengan sangat cepat. Kontrol pemerintah pusat atas daerah ini dilakukan dengan melakukan pengiriman tentara dalam jumlah sangat banyak. Sampai dengan tahun 90an dan 2000 awal, jumlah tentara telah berbanding 1:4 dengan masyarakat sipil. Selain itu, pendatang dari luar Papua telah membanjiri Wamena. Diperkirakan setengah dari penduduk Wamena adalah pendatang. Mereka menguasai sector ekonomi dan baru akhir-akhir ini pejabat daerah dipegang oleh orang Papua sendiri. Kekerasan dan ketidakadilan mewarnai pembangunan di wilayah ini. Kesenjangan sangat jelas terlihat antara penduduk pendatang dan penduduk asli. Kios-kios di pasar dikuasai oleh masyarakat pendatang, sedangkan penduduk asli berjualan di emperan pasar.
[1] Van Baal, Galis, Koentjaraningrat (1984), West Irian: A Bibliography, the Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde,The Netherlands (www.kitlv.nl), downloaded in October 2006 from http://www.papuaweb.org/dlib/bk1/kitlv/bib/06-ocr.pdf .
For detail historical dates: http://www.koteka.net/history.htm
From Wamena To Western Dani, Indonesia Magazine, 1994, p.12 - 15

Dasar filosofis pengembangan masyarakat dan kesehatan

Kita percaya bahwa dunia ini diciptakan oleh Allah sebagai rumah bagi semua orang, laki-laki dan perempuan untuk hidup dalam kepenuhan. Dunia adalah rumah bagi manusia untuk dapat membagi kehidupan yang bersumber dari Allah. Tetapi dosa telah membuat dunia ini menjadi tempat yang tidak nyaman untuk semua orang. [1] Kerusakan lingkungan akibat keserakahan sekelompok manusia telah mengakibatkan manusia yang lain terasingkan dari lingkungannya sendiri dan mengalami kesulitan untuk hidup dari nya. Keserakahan sekelompok manusia telah membuat mereka menguasai sebagian besar sumber daya alam dan memanfaatkannya untuk kepentingan mereka semata. Sedangkan manusia lainnya harus bersusah payah dengan sumber daya yang terbatas untuk menghidupi mereka dan anak-anak mereka.

Masyarakat yang memiliki kesulitan untuk mengakses sumber ekonomi, pendidikan, pelayanan kesehatan dan menyatakan keinginan mereka berada dalam risiko yang jauh lebih besar untuk mengalami masalah kesehatan. Penyakit-penyakit menular yang sebenarnya dapat dicegah dengan imunisasi dan kebersihan diri menyerang mereka dan belum dapat diatasi disebagian besar masyarakat miskin. Sementara penyakit-penyakit baru seperti HIV/AIDS mengancam mereka lebih kuat daripada mereka yang kaya. Anak-anak mereka dilahirkan dengan keadaan yang sangat terbatas, dibesarkan dengan kekurangan makan
[2]. Semua keadaan ini mengakibatkan mereka berada dalam kualitas hidup yang rendah dan akhirnya membuat mereka kalah bersaing dengan mereka yang lebih beruntung. Anak-anak miskin dipemukiman kumuh dan padat di Cilincing misalnya sangat sering mengalami diare sedangkan makanan yang diterima tidak mencukupi kebutuhan mereka untuk bertumbuh dengan baik. Keadaan ini membuat semakin rendahnya kualitas sumber daya manusia dan membuat mereka jatuh semakin dalam kemiskinan dan penyakit.

Pada tahun 1978, pada sebuah konferensi di Alma-ata di mana 134 utusan negara dikoordinir oleh WHO dan UNICEF bertekat untuk mencapai “Health for All by the year 2000” dan telah menetapkan Pelayanan Kesehatan Dasar sebagai alat terbaik untuk mencapai tekat tersebut. Namun, tekat itu tidak tercapai. Negara-negara miskin termasuk Indonesia masih tetap berada dalam masalah kesehatan yang sama seperti tahun 1978, belum lagi mereka juga menghadapi masalah kesehatan baru seperti HIV/AIDS dan penyakit yang menular dengan cepat misalnya Flu Burung.

Jurang ketidakadilan antara negara kaya dan miskin dan masyarakat kaya dan miskin dalam negara miskin itu sendiri menjadi semakin lebar.
[3] Dalam bidang kesehatan, ketidakadilan juga terjadi dan menjadi semakin lebar. Pelayanan kesehatan dasar yang diterapkan sejak deklarasi Alma-Ata ditandatangani telah gagal diterapkan dengan baik. Masyarakat miskin hanya sekedar menjadi objek dari upaya perbaikan kesehatan mereka. Suara mereka tetap tidak didengar oleh birokrat kesehatan dunia dan masing-masing negara.[4]

Setelah Alma-Ata, deklarasi demi deklarasi bahkan serangkaian Tujuan Pembangunan Milenium telah ditetapkan untuk mencapai keadaan masyarakat (termasuk kesehatan) yang lebih baik. Sejalan dengan itu, kritik terhadap mereka juga telah menyambut mereka. Pengentasan masalah kemiskinan dan kesehatan telah menjadi industri yang sangat besar dan telah melupakan kemanusiaan itu sendiri. Birokrat kesehatan mengerahkan uang dalam jumlah sangat besar dengan pendekatan yang terus dikaji tetapi masalah kesehatan masyarakat miskin tetap ada.

Kalau pelayanan kesehatan pencegahan dan pengobatan yang telah disusun oleh para birokrat telah gagal untuk menurunkan masalah kesehatan utama masyarakat miskin di dunia ini. Maka kini saatnya kita berpaling kepada manusia yang menderita itu sendiri. Suara orang tertindas, miskin dan berpenyakit itulah yang perlu kita dengar. Memahami penderitaan mereka, penindasaan yang mereka alami, ketidakadilan ekonomi dan politik yang mereka jalani perlu menjadi tindakan pertama dan utama dalam perjuangan mencapai kesehatan yang lebih baik.

Akar yang sama
Karenanya, dalam mengatasi masalah kesehatan pada masyarakat miskin dan tertindas, yaitu mereka yang menjadi mitra utama WVI, harus didasari oleh pemahaman yang jernih atas akar masalah ini semua. Bahwa akar masalah kesehatan adalah sama dengan akar masalah sector lainnya. Ketidakadilan menjadi juga menjadi akar masalah pendidikan, ekonomi dan lingkungan. Pemisahan masalah kesehatan dari akar masalahnya akan mengakibatkan tidak terarahnya strategi penyelesaian masalah bahkan dapat menimbulkan persaingan dengan sector lainnya. Sektor keehatan tidak boleh bersaing dengan sector pendidikan, karena mereka lahir dari masalah yang sama. Sehingga letak strategi penyelesaian masalah kesehatan harus berada dalam harmoni dengan strategi penyelesaian masalah sector lainnya yang terjalin menjadi satu strategi penghapusan ketidakadilan.

ADP, tempat kita berharap
Transformasi masyarakat yang diharapkan oleh WVI adalah menjadi harapan bagi upaya perbaikan keadaan kemiskinan dan buruknya kesehatan. Kabar baik Kristus yang mendamaikan manusia dan penciptanya juga diharapkan memulihkan hubungan manusia dan manusia. Ketidakadilan diharapkan akan dikurangi dengan signifikan saat hubungan mereka dengan Tuhan dipulihkan. Keserakahan dari mereka yang lebih pandai, lebih kaya, lebih berkuasa diharapkan dilenyapkan saat mereka sadar bahwa Tuhan menciptakan dunia ini untuk semua orang. Pada saat yang sama, mereka bodoh, miskin, lemah diharapkan memiliki pengharapan dan semangat baru untuk berusaha keluar dari kemiskinan dan sakit-penyakit saat mereka mengetahui bahwa Tuhan telah memberikan pembebasan dan harapan hidup dalam kepenuhan bagi mereka.

ADP adalah tempat di mana harapan kita tersebut diletakan. WVI memilih beberapa desa atau kecamatan atau kebupaten tertentu untuk memungkinan transformasi menyeluruh terjadi. Di dalam pendekatan ini, WVI mengarahkan kegiatannya dalam kendali Tuhan yang diperoleh dalam dialog dengan masyarakat miskin dan tertindas. Transformasi tidak dapat terjadi jika masyarakat hanya menjadi objek perubahan. Transformasi tidak dapat terwujud jika kita lebih banyak bicara dan menyusun konsep tanpa mendengar suara mereka.

Masalah kesehatan, salah satu bagian dari semua kesulitan hidup mereka yang tertindas dan miskin, juga adalah bagian transformasi yang diharapkan WVI. Kemampuan untuk memahami masalah kesehatan yang melewati sekedar angka-angka statistic dan fakta-fakta ilmu pengetahuan termungkinkan untuk dilakukan oleh ADP
[5]. Di dalam ADP, seluruh masalah dan konteksnya dimengerti dengan interaksi yang mendalam dengan masyarakat. Bahkan ADP sebenarnya adalah bagian dari masyarakat itu sendiri.

Namun sering kali, keunggulan ADP tidak maksimal digunakan untuk menyelesaikan masalah kesehatan yang ada. Solusi masalah kesehatan dianggap harus rumit, canggih dan memerlukan orang-orang ahli. Kesehatan dan pelayanan kesehatan telah dilepaskan dari kehidupan keseharian oleh modernitas. Masyarakat miskin teralienasi dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan. Mereka bertindak sebagai penonton atau sesekali sebagai konsumen dengan biaya yang tinggi. Mengembalikan urusan kesehatan kepada rakyat jelata sepertinya perlu dilakukan oleh ADP. Mempercayai bahwa ADP dan masyarakat dapat memahami, mencari jalan keluar sendiri dari masalah kesehatan yang ada dan mengelolanya perlu dikembangkan. Keyakinan bahwa mengatasi masalah kesehatan pada masyarakat miskin dan tertindas tidak memerlukan kecanggihan ilmu pengetahuan semata tetapi lebih ditekankan kepada aspek penemuan kearifan setempat yang dapat menjamin kesinambungan dan menekan biaya secara signifikan.
[1] Liturgi dari World Alliance of Reformed Churches, Oktober 2006
[2] Kurang makan disini artinya bukan hanya tidak ada bahan makanan saja (food availability), tetapi tidak ada kemampuan untuk mengakses makanan (food access), kemampuan untuk menggunakannya dengan baik (food utilization). Ada banyak masalah dalam penggunaan bahan makanan karena informasi yang baik tidak sampai kepada mereka.
[3] Ketidakadilan (inequity) adalah yang menjadi sumber masalah. Sering kali ketidakadilan disamakan dengan ketidaksamaan (inequality). Inequality merujuk kepada ketidaksamaan distribusi sesuatu kepada dua kelompok. Sedangkan inequity merujuk kepada ketidakadilan dalam distribusi sesuatu tersebut.
[4] Elaborasi kegagalan ini dapat dibaca dalam People’s Charter for Health yang ditetapkan pada bulan Desember 2000 di Bangladesh.
[5] Ronald Gunawan. “Breastfeeding: beyond facts for life”. Unpublished paper. AMMA, Universiteit van Amsterdam, 2004. Pemahaman masalah kesehatan (dalam paper ini : praktek menyusui ) perlu dibuat untuk melewati fakta-fakta ilmiah. Masalah menyusui bukan sekedar ketidaktahuan ibu-ibu, tetapi ketidakadilan gender membuat mereka terlalu tersibukan dengan berbagai urasan domestic. Promosi ASI eksklusif tanpa pengupayan keadilan gender hanyalah merupakan beban baru bagi ibu-ibu miskin.

Monopoli bidang kesehatan?


Teman-teman pasti pernah mendengar KPPU yaitu Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Mereka sedang gencar-gencarnya mengkampanyekan anti-monopoli. Mengapa monopoli harus kita hindari? Monopoli menyebabkan persaingan usaha yang tidak sehat. Tetapi saya tidak ingin menulis tentang monopoli dalam usaha, yang saya ingin sampaikan adalah monopoli pemikiran atau paradigma.

Selama saya bersekolah saya tidak diajarkan untuk mengkritisi sesuatu, lebih banyak untuk membaca, menghapal dan mengulang. Sehingga akhirnya saya tidak memiliki kemampuan untuk berpikir kritis. Kemudian suatu saat saya sadar ini adalah salah. Tidak selamanya buku yang saya baca itu menyatakan kebenaran, tidak semua artikel itu ditulis dengan analisa yang baik, tidak semua laporan dibuat dengan kenyataan. Kemampuan berpikir berbeda dan ‘ngeyel’ itulah yang ternyata perlu saya tingkatkan.

Hmmm., monopoli dan berpikir kritis… Apa hubungannya dengan kesehatan? Jelas ada! Selama ini saya hanya tahu bahwa kesehatan adalah urusan tenaga kesehatan, dokter khususnya. Mungkin karena saya belajar kedokteran. Dalam dunia kedokteran – dan sayangnya diterima oleh sebagian besar orang, hampir semua urusan sakit, penyakit dan kesehatan adalah sumber penghasilan dokter.

Suatu saat saya berpikir, ini tidak benar! Pemikiran itu jelas keliru. Monopoli dokter (atau tenaga kesehatan lainnya) terhadap ilmu pengetahuan kedokteran dan juga penggunaannya adalah sebuah kesalahan. Tetapi ini kan tidak bisa dipungkuri telah terjadi. Paling tidak secara hukum, dokterlah yang berhak untuk memberikan resep obat. Dam tidak semua obat dapat dibeli tanpa resep dokter. Kalau soal resep dokter, mungkin ada benarnya. Tetapi kalau pengetahuannya yang dimonopoli jelas itu salah.

Kemudian saya berpikir lagi. Apa tepat kita menyebutnya monopoli? Mungkin yang lebih tepat adalah keunggulan suatu profesi atau pengkhususan. Mari kita pinjam teori-teori perkembangan masyarakat. Dahulu ketika semua orang melakukan hal yang sama, maka tidak ada profesi. Semua adalah sama yaitu masyarakat subsisten. Semua dipenuhi oleh mereka sendiri. Tetapi dunia bertambah maju
[1], sekelompok orang mengkhususkan diri untuk bertani, kelompok yang lain mencari ikan di laut, kumpulan yang lain menjadi tukang jahit dan ada juga yang mengkhususkan diri menjadi tabib.

Sepertinya tidak ada yang salah dengan pembagian kerja atau pengkhususan. Tetapi mari kita amati apa yang terjadi saat ini, para tabib-tabib ini telah membangun ilmu dan dirinya dengan kemajuan yang luar biasa. Dan lebih hebatnya lagi, ilmu pengtahuan ini dipakai dengan sangat baik sekali untuk menciptakan kesejahteraan yang sangat layak bagi sebagian besar dokter. Hmmm tidak salah kalau kita membacanya dipermukaan saja. Kalau kita masuk kedalam intrik-intriknya maka kita bisa menemukan keanehan
[2].

Sewaktu saya bekerja sesaat menjadi seorang dokter di beberapa klinik di Jakarta, sebagian besar penghasilan didapatkan dari sakit batuk pilek saja. Suatu penyakit ringan yang sebenarnya tidak diapa-apakan pun akan sembuh sendiri. Saya jadi malu. Hanya enam bulan saya bertahan dengan rasa malu ini dan akhirnyua saya berhenti.

Apa keanehan ini hanya terjadi pada dokter umum saja? Ternyata juga terjadi pada dokter yang sudah lebih mengkhususkan diri. Kita ambil satu contoh, misalnya dokter ahli kandungan dan kebidanan. Di Jakarta ini, sangat jarang saya mendengar ada dokter umum yang menolong persalinan normal. Atau juga sebaliknya, masih banyak dokter spesialis ini yang mencari makan dari persalinan normal. Padahal persalinan normal adalah proses yang sangat alamiah yang dapat terjadi dengan sendirinya (atau dengan bantuan sederhana).

Apa akibat dengan semua ini? Biaya tinggi! Orang yang batuk pilek yang sebenarnya hanya perlu istirahat yang cukup, makanan yang bergizi dan mungkin beberapa obat pereda gejala yang mengganggu, harus membayar upah dokter, dan obat yang lebih mahal karena dibeli dengan resep dokter. Belum lagi kalau ia harus juga membeli antibiotik yang sebenarnya pada sebagian besar kasus tidak perlu sama sekali. Tetapi kepala sebagian besar orang sudah diisi dengan pemikiran bahwa ke dokter lebih baik atau lebih cepat sembuh. Mengapa pengetahuan sederhana ini tidak disebarkan dengan baik kepada masyarakat kita? Mengapa dokter-dokter ini ketika menerima klien dengan masalah seperti ini tidak memberikan pengetahuan yang benar dalam konseling mereka. Jawabannya singkat, karena hubungan dokter klien di Indonesia ini bukanlah hubungan yang setara. Sangat jarang dokter yang menghormati hak klien dengan memberikan waktu konsultasi yang sepadan dengan harga yang ia telah tetapkan. Harga yang dikeluarkan hanya ditukar dengan selembar kertas resep yang tulisannya tidak jelas. Bahkan jenis dan tujuan pemberian obat pun jarang disampaikan. Mengapa profesi dokter saat ini menjadi seperti dukun? Bahkan saya amati, dukun saat ini lebih costumer oriented daripada dokter.

Kembali kepada monopoli. Di mana monopolinya? Ini memang bukan monopoli usaha, tetapi monopoli pemikiran. Pengetahuan kedokteran yang sangat sederhana sekalipun dimonopoli oleh dokter. Padahal untuk urusan batuk pilek seharusnya menjadi urusan semua orang.

Monopoli kesehatan apalagi yang ada? Masih banyak! Yang disebutkan di atas hanyalah contoh
Kalau kalian tidak setuju dengan tulisan saya ini atau tidak menyukainya, berarti anda sudah berpikir kritis. Dunia kesehatan perlu pemikiran kritis yang tidak selalu mengekor dan berkata ‘ya’.
[1] Maju atau mundur tergantung siapa yang melihat dan dari perspektif apa,.
[2] Untuk sementara saya gunakan istilah keanehan. Tetapi yang sebenarnya ingin saya gunakan adalah ketidakadilan. Karena kalau saya gunakan istilah yang kedua ini, perdebatan akan segera mencuat, sehingga saya untuk saat ini mengalah dahulu.

Apa yang dapat dilakukan ADP untuk gizi?

[1]

Latar belakang
Beberapa kali telepon di meja saya berdering, beberapa surat elektronik masuk ke dalam kotak surat dan beberapa orang datang menanyakan pertanyaan seperti judul tulisan ini. Jika saya punya cukup waktu maka saya akan menjawab pertanyaan mereka dengan panjang lebar, sampai-sampai orang tersebut terlihat menguap beberapa kali. Mungkin karena bosan dengan jawaban saya yang terlalu berapi-api tetapi disampaikan dengan terlalu cepat.

Biasanya jawaban saya adalah sebagai berikut:

Kita mulai dengan hujan istilah
Saya mulai dengan pernyataan bahwa kita harus membedakan antara penggunaan indikator yang berhubungan dengan status gizi[2] dengan program rehabilitasi gizi. Kemudian saya menjelaskan bahwa yang kita belum memperhatikan adalah suatu bentuk program gizi yang saya beri nama program gizi yang strategis – integratif – holistik – advokatif.

Biasanya orang yang mendengar mulai memicingkan sebelah matanya, menunjukkan rasa ingin tahu. Dan kalau saya menemukan tanda ini saya lanjutkan dengan penjelasan untuk istilah-istilah yang saya sudah lupa dari buku apa atau dari siapa atau mungkin saya sendiri yang merangkainya.[3]

Pertama kita harus paham dulu apa yang disebut indikator gizi. Siapapun berhak tahu dan berhak menggunakan indikator ini untuk kepentingan mereka masing-masing. Ini bukan indikator milik para ahli gizi atau pengelola program gizi rehabilitatif saja. Secara sederhana artinya adalah suatu ukuran dari baik buruknya keadaan gizi seseorang atau suatu kelompok orang pada suatu klasifikasi yang sama. Untuk yang ukuran terhadap kelompok orang, seharusnya disebut adalah status gizi masyarakat. Yang lebih sering digunakan di Indonesia adalah status gizi pada kelompok anak yang berusia di bawah 5 tahun.

Siapa yang bisa menggunakan indikator ini?
Sebut saja guru!
Hah? Guru? Apa hubungannya dengan indikator gizi?
Ya jelas ada! Mau tahu?[4]

Guru! Kalau saya seorang guru, pekerjaan saya akan lebih ringan kalau anak didik saya memiliki otak yang berisi. Darimana saya tahu kalau otak mereka berisi? Salah satunya dengan mengetahui sesuatu yang menurut ahli gizi disebut sebagai status gizi. Menurut mereka, anak-anak dengan status gizi buruk terutama disaat 2 tahun pertama kehidupannya akan memiliki kecerdasan yang kurang karena jaringan otak mereka tidak maksimal berkembang akibat kurangnya asupan makanan.

Betulkan? Bahwa guru juga berhak menggunakan indikator gizi. Siapa lagi yang perlu tahu atau menggunakan ini?
Bagaimana dengan seorang camat atau bupati? Apa mereka juga perlu tahu? Ya, jelas perlu dong.

Seorang Bupati perlu tahu tingkat kesejahteraan rakyatnya. Dia perlu tahu apakah dia bekerja dengan baik untuk meningkatkan derajat hidup yang lebih baik untuk rakyat yang telah memilihnya. Status gizi bisa menjadi tanda apakah beliau bekerja dengan baik atau tidak.

Jika Bupati tersebut membersihkan korupsi pada jajarannya, uang yang tadinya masuk ke kantong beberapa orang dapat digunakan untuk membuat saluran irigasi dengan lebih luas, lebih baik dan lebih tahan lama. Akibatnya kekeringan dapat dihindari. Akibatnya rakyat dapat panen sebanyak 2 atau 3 kali setiap tahunnya. Akibatnya petani dapat memiliki cukup makan atau uang untuk memenuhi kebutuhan makan istrinya yang sedang hamil. Akibatnya Ibu itu melahirkan bayi yang sehat. Dan setelahnya Ibu itu tetap mendapat makanan yang bergizi, akibatnya ibu itu dapat dengan baik menyusui anaknya selama 6 bulan tanpa diberi makanan apapun (yang kata ahli gizi disebut sebagai ASI Eksklusif). Akibatnya anak itu bertubuh gempal, ceria dan sedikit nakal. Setelah itu, anak itu terus mendapat ASI sampai dia berumur 2 tahun. Tetapi bersamaan dengan itu, sang Ibu juga menyiapkan makanan pendamping ASI dari hasil kebunnya yang subur karena diairi dengan baik. Kira-kira 6 tahun kemudian, sang anak masuk sekolah negeri di desanya. Dia selalu naik kelas dengan hasil yang baik sekali. Dan akhirnya setelah 12 tahun kemudian diterima di sebuah universitas ternama di negeri itu. Empat tahun kemudian dia lulus dan bekerja sebagai seorang ahli budaya.

Ini cuma satu cerita dari ribuan keluarga – ibu hamil – ibu menyusui – BALITA – Anak usia sekolah – mahasiswa – pekerja dan seterusnya. Apa akibatnya? Kemiskinan lenyap! Keadilan ditegakkan! Korupsi tidak punya tempat di negeri itu!

Jadi Sang Bupati dapat menggunakan indikator gizi untuk mencari tahu sejauh mana kesejateraan rakyatnya menjadi lebih baik. Sang Bupati yang satu ini tidak melakukan bagi-bagi makanan untuk Balita atau apalagi membagikan susu. Tetapi yang dilakukannya adalah pemberantasan korupsi! Karena dia melihat bahwa di negeri itu akar dari masalah kesejahteraan adalah ketidakadilan akibat beberapa gelintir penguasa, pemegang senjata dan pengusaha bekerja sama melahap harta negara. Sang Bupati yakin bahwa dengan tegaknya hukum dan keadilan dengan sendirinya nanti para Balita akan lebih sehat. Ini contoh ekstrim, tidak wajib dicontoh loh!

Bagaimana dengan seorang pekerja sosial yang bergerak dalam bidang pemberdayaan masyarakat?
Apa dia juga berhak tahu dan menggunakan indikator gizi?
Ya tentu saja boleh!

Sebut saja dia adalah Bapak Joni. Beliau tahu betul bahwa rakyat di desanya sering kali melupakan hak anak dalam kehidupan mereka. Dewasa laki-laki lebih mengutamakan merokok dan pesta-pesta. Sedangkan kehidupan anak terabaikan. Anak-anak terlihat lusuh, tanpa alas kaki, banyak yang tidak sekolah. Apalagi anak perempuan, lebih banyak yang pucat dan tidak sekolah. Pak Joni sangat tergerak untuk membuat perubahan di desa itu. Ia mulai berbicara kepada tetua adat tentang adat yang berlaku di desa itu. Ia juga bicara dengan kelompok bapak-bapak. Mula-mula gagasannya ditolak mentah-mentah. Tetapi lama kelamaan beberapa bapak-bapak mulai tergerak untuk mengutamakan anak dalam pengeluaran keuangan mereka.

Beberapa keluarga mulai menyediakan sepatu untuk anaknya bersekolah. Akibatnya anak-anak dapat berlari menuju sekolah mereka. Anak-anak terutama remaja putri mendapat makanan yang cukup dan bergizi. Dahulu anak-anak cuma dapat kaki atau kepala ayam, kini remaja putri dapat paha atau dada ayam. Mereka sekarang tahu bahwa remaja putri perlu gizi yang baik.

Selain memerhatikan sepatu dan makanan, rakyat desa tersebut juga sadar bahwa akte lahir sangat diperlukan oleh anak mereka kelak nanti. Mereka dapat bersekolah lebih baik di kota nanti.

Keadaan ini terus membaik dari tahun ketahun. Sampai akhirnya Pak Joni pensiun. Sudah 20 tahun ia bekerja bersama masyarakat di desa itu. Kemudian ia bertanya pada dirinya sendiri, apa ia sudah bekerja bersama rakyat membuat perubahan? Lalu ia menjawab: SUDAH! Apa buktinya Pak? Dahulu sekitar separuh dari Balita di sana kurang gizi. Kini anak-anak di desa itu sangat sedikit sekali yang kurang gizi. Bahkan sekarang tinggi Balita juga lebih tinggi jika dibandingkan keadaan pada 20 tahun yang lalu.

Pak Joni membuktikan bahwa dirinya bekerja dengan baik selama 20 tahun di desa itu dengan menujukkan perubahan gizi pada Balita, padahal dia tidak pernah membagikan makanan tambahan atau apapun juga namanya.

Rangkuman dari 3 kisah
Dari ketiga cerita ini, tidak ada satu pun yang ahli gizi. Bukannya saya tidak suka dengan ahli gizi. Tetapi memang indikator gizi bukan milik ahli gizi saja atau bukan juga hanya digunakan untuk mengukur keberhasilan program gizi saja.

Setelah kita dengar / baca 3 kisah ini, saya berharap kita sudah dapat membedakan antara:
Penggunaan indikator gizi
Program gizi rehabilitatif

Indikator gizi adalah indikator hasil yang sangat baik dalam mengukur kesejateraan suatu kelompok masyarakat. Dia adalah agregat dari berbagai faktor, sebut saja:

Asupan gizi, yang dipengaruhi oleh:
i. Ketersediaan bahan pangan, yang dipengaruhi oleh:
1. ketersediaan air (ini urusan tukang air)
2. ketersediaan lahan (ini urusan land reform)
3. ketersediaan bibit (ini urusan fair trade)
4. harga jual hasil panen (ini juga fair trade)
5. harga beli pupuk (ini juga fair trade)
6. perubahan iklim akibat kerusakan hutan (ini urusan orang lingkungan)
Mungkin ini berhubungan dengan kedaulatan pangan.
ii. Kemampuan untuk menyimpan / lumbung pangan (ini urusan tabung menabung)
iii. Perbandingan jumlah jiwa dan lahan (ini urusan KB)
iv. Kemampuan untuk mengolah pangan (terutama untuk anak) (ini urusan orang gizi, lebih khusus lagi teknologi pengolahan pangan)

Sehat / penyakit, ini bukan hanya pekerjaan dari seorang dokter, tetapi dipengaruhi oleh:
i. Kondisi rumah
ii. Kepadatan penduduk
iii. Jumlah dan kualitas air bersih
iv. Kualitas udara
v. Cukup makan makanan yang bergizi
vi. Cukup olahraga
vii. Cukup istirahat
viii. Tidak ada nyamuk
ix. Ada kondom (utk KB dan pencegahan HIV/AIDS, apa hubungannya dengan gizi, tentu ada! Nantikan edisi selanjutnya)
x. Guru tidak kabur dari sekolah. Kalau guru kabur, murid tidak belajar, akhirnya bodoh dan tidak tahu kalau nyamuk bisa menularkan Malaria, akibatnya banyak anak yang kena Malaria, sering sakit dan jadi kurus! Itulah hubungan antara guru yang kabur dengan gizi buruk.
xi. Dll

Kedua faktor utama ini akan beranak dan beranak terus. Sampai akhirnya semua sisi kehidupan ini terkait. Kesimpulannya adalah: Tidak perlu ragu untuk menggunakan indikator gizi untuk berbagai keperluan. Tetapi harus realistis! Jangan berharap ada perubahan status gizi kalau cuma hanya bagi-bagi seragam sekolah.

Untuk sebuah program yang ‘selengkap’ ADP, harusnya cukup yakin untuk berharap akan ada perubahan pada status gizi pada Balita pada suatu saat nanti (10-15 tahun lagi). Karena:
Orang tua sadar akan hak anak
Pendidikan jauh lebih berkualitas
Sumber air terbagi rata
Rakyat tahu perdagangan yang adil
Pemerintah memperhatikan rakyatnya dengan baik
dll
Kalau ini tercapai, saya yakin bahwa dalam 10-15 tahun ada generasi Balita baru yang tubuhnya lebih gempal dan lebih lincah.

Lalu sekarang kita bicara tentang program gizi rehabilitatif. Apa ini? Dia ini cuma program tambal ban! Kerjanya cuma cari ban bocor lalu ditambal, tetapi tidak mencari tahu dan mengatasi mengapa banyak ban yang bocor? Ha ha ha mungkin juga ada yang tebar paku, tetapi apa ada ahli gizi rehabilitatif yang menebar paku? Pasti tidak ada, tetapi mungkin ada yang memakai kacamata kuda, dan hanya mau tahu apa yang mereka pernah belajar, yaitu kalau ada anak yang gizi kurang atau buruk harus dikasih makan ini itu. Padahal jauh lebih seru kalau kita cari tahu mengapa ada banyak anak yang gizi kurang.

Tetapi bukan berarti pekerjaan ini tidak penting. Sangat penting sekali. Program ini sangat perlu dilakukan! Jangan membiarkan anak Balita yang sekarang gizi buruk terus hidup dalam kondisi ini. Mereka perlu “ditambal”. Pekerjaannya lebih seperti mengobati daripada mencegah. Padahal kita tahu bahwa mengobati biayanya lebih besar dan lebih rugi karena anak itu pasti telah sedikit bodoh.

Siapa yang perlu membuat program gizi yang sifatnya ‘tambal ban’ seperti ini? Yang cocok adalah mereka cuma punya waktu sesaat saja. Katakanlah 3 tahun saja. Biasanya, mereka berani membuat target akan ada perubahan status gizi yang sifatnya agak jangka panjang (atau bahasa kerennya kurang gizi kronik). Sedangkan ada juga yang sangat pendek umur proyeknya. Misalnya hanya kurang dari satu tahun. Biasanya yang jadi pemicu adalah adanya kurang gizi akut atau mendadak. Karena sifatnya mendadak, maka intervensinya juga cepat datang dan cepat juga perginya.

Bagaimana dengan lembaga seperti ADP yang bisa bertahan dalam 10-15 tahun. Jangan hanya meniru cara kerja program gizi ‘tambal ban’ saja. Atau istilah saya adalah jangan meniru kegiatan mereka yang hanya berkerangka 3 tahun lalu menariknya (seperti karet) ke dalam kerangka waktunya ADP. Tentu tidak pas.

Nah kalau begitu yang cocok untuk ADP apa?
Ini dia: yang cocok untuk ADP adalah program gizi yang strategis – integratif – holistik – advokatif.
Apa sih? Isinya sangat lengkap. Yang pasti harus dilakukan dengan konsisten!

Dalam program gizi ini, semua masalah yang berkaitan harus diatasi. Dan juga tidak melupakan Balita-Balita yang kini kurang gizi. Jadi termasuk juga program gizi rehabilitatif. Artinya sedapat mungkin anak-anak kurus dan lemah ini harus segera dipulihkan. Dan yang lebih penting mengupayakan jangan sampai ada lagi Balita yang seperti ini.

Bagaimana cara melakukannya? Buat dulu pohon masalah sesuai dengan keadaan daerah tersebut. Lalu bertindaklah seperti Guru, Bupati dan pekerja sosial dalam ketiga contoh cerita diatas.

Strategis, artinya cari pangkal-pangkal masalah yang menentukan masalah-masalah lainnya. Dan segera atasi
Integratif, artinya jangan melakukan pemisahan sektor-sektor. Semua sektor harus yakin berada dalam garis perjuangan yang sama.
Holistik, artinya semua aspek jangan terlewatkan. Kalau tidak mampu, buat jejaring kerja
Advokatif, artinya memperjuangkan perubahan dalam semua tataran. Mulai dari keluarga, pemuka adat, pemimpin terendah sampai tertinggi.

Misalnya:
Mari kita belajar dari NTT, disana mungkin gambar pohon nya seperti ini:
Air kurang, karena hujan kurang, sumber air kurang atau tidak tersalurkan dengan baik
Pendidikan sangat buruk
Ketidakadilan gender
Hak anak terabaikan
Adanya sistim kasta
Merokok, minum dan pesta
Kurang akses terhadap informasi
Kurang pelayanan kesehatan yang paripurna
Korupsi (katanya salah satu propinsi yang korupsinya hebat)
Banyak penyakit: TB, Malaria
dll

Dari gambar pohon ini, mana yang perlu diatasi? Semuanya pasti! Tapi kalau dua atau tiga faktor saja diurus dengan sangat baik, saya yakin akan ada kontribusi pada perbaikan status gizi balita. Tapi syaratnya harus dilakukan dengan benar-benar baik, bukan biasa-biasa saja. Karena masalah gizi benar-benar parah, bukan biasa-biasa saja.

Kalau saja pendidikan disana menjadi lebih baik, dalam 10 tahun akan ada ibu-ibu yang berpengetahuan jauh lebih baik, sehingga tidak perlu lagi WVI berletih-letih mengajari kader melakukan penyuluhan. (Bukan tidak perlu, tetap perlu).

Kalau saja ada keadilan gender, pasti ibu-ibu bisa mengatur kelahiran dengan lebih baik. Ibu tidak akan kurang gizi dan anemia sehingga anaknya juga tidak berbadan lahir kecil.

Kalau saja Puskesmas buka sesuai dengan jam kerja kantor, (artinya buka dari jam 8 – 16, berarti mereka dapat bekerja dua kali lipat dari biasanya) pasti mereka memiliki kemampuan dua kali lipat untuk mengatasi masalah kesehatan di sana. Artinya mereka harus digaji cukup sehingga tidak perlu mencari kerja tambahan.

Kalau saja – kalau saja yang lain masih banyak.

Penutup

Dari cerita saya ini, saya berharap saat kita melihat ada banyak anak Balita yang kurus dan/atau pendek, maka kita mengurai temuan ini sampai kepada akar-akarnya. Jangan terpaku hanya pada kekurusan atau kurangnya makan saja. Mari kita tempatkan indikator gizi sebagai indikator agregat dari kesejahteraan masyarakat. Jangan tempatkan dia hanya menjadi indikator keberhasilan program gizi rehabilitatif saja. Mari tempatkan dia sebagai indikator pengembangan masyarakat yang utuh (yang saya sebut sebagai program gizi yang strategis – integratif – holistik – advokatif)

Selamat bekerja!
[1] Oleh Ronald Gunawan, Karyawan World Vision Indonesia. Pernah menjadi dokter, sekarang peminat antropologi kesehatan. Tulisan ini adalah pendapat pribadi

[2] Untuk selanjutnya disebut indikator gizi

[3] Suatu saat saya bertanya pada diri sendiri, apa saya sudah ‘berhak’ untuk membuat istilah-istilah baru. Lalu muncul jawaban bahwa rasanya pengalaman selama hampir 6 tahun bekerja di sector ini saya sudah memberikan keberanian untuk melontarkan istilah atau jargon baru.

[4] Kalau masih tertarik untuk membaca tulisan saya ini, sebaiknya menyiapkan secangkir teh atau kopi panas dan sepotong kue kering. Karena ketika saya menulisnya, mereka juga yang menemani saya. Mungkin mereka juga akan membantu pembaca dalam memahami jalan pikiran saya yang sering melompat-lompat.