tidak ada kondom

tidak ada kondom
Iklan ini diangkat dari kisah nyata. Beberapa anak muda di suatu desa di Papua menggunakan plastik ketika melakukan hubungan seks. Tujuannya untuk mencegah penularan HIV. Mereka tahu bahwa hubungan seks dapat menularkan virus ini, tetapi kondom sulit didapat dan mahal harganya.

Saturday, March 3, 2007

Monopoli bidang kesehatan?


Teman-teman pasti pernah mendengar KPPU yaitu Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Mereka sedang gencar-gencarnya mengkampanyekan anti-monopoli. Mengapa monopoli harus kita hindari? Monopoli menyebabkan persaingan usaha yang tidak sehat. Tetapi saya tidak ingin menulis tentang monopoli dalam usaha, yang saya ingin sampaikan adalah monopoli pemikiran atau paradigma.

Selama saya bersekolah saya tidak diajarkan untuk mengkritisi sesuatu, lebih banyak untuk membaca, menghapal dan mengulang. Sehingga akhirnya saya tidak memiliki kemampuan untuk berpikir kritis. Kemudian suatu saat saya sadar ini adalah salah. Tidak selamanya buku yang saya baca itu menyatakan kebenaran, tidak semua artikel itu ditulis dengan analisa yang baik, tidak semua laporan dibuat dengan kenyataan. Kemampuan berpikir berbeda dan ‘ngeyel’ itulah yang ternyata perlu saya tingkatkan.

Hmmm., monopoli dan berpikir kritis… Apa hubungannya dengan kesehatan? Jelas ada! Selama ini saya hanya tahu bahwa kesehatan adalah urusan tenaga kesehatan, dokter khususnya. Mungkin karena saya belajar kedokteran. Dalam dunia kedokteran – dan sayangnya diterima oleh sebagian besar orang, hampir semua urusan sakit, penyakit dan kesehatan adalah sumber penghasilan dokter.

Suatu saat saya berpikir, ini tidak benar! Pemikiran itu jelas keliru. Monopoli dokter (atau tenaga kesehatan lainnya) terhadap ilmu pengetahuan kedokteran dan juga penggunaannya adalah sebuah kesalahan. Tetapi ini kan tidak bisa dipungkuri telah terjadi. Paling tidak secara hukum, dokterlah yang berhak untuk memberikan resep obat. Dam tidak semua obat dapat dibeli tanpa resep dokter. Kalau soal resep dokter, mungkin ada benarnya. Tetapi kalau pengetahuannya yang dimonopoli jelas itu salah.

Kemudian saya berpikir lagi. Apa tepat kita menyebutnya monopoli? Mungkin yang lebih tepat adalah keunggulan suatu profesi atau pengkhususan. Mari kita pinjam teori-teori perkembangan masyarakat. Dahulu ketika semua orang melakukan hal yang sama, maka tidak ada profesi. Semua adalah sama yaitu masyarakat subsisten. Semua dipenuhi oleh mereka sendiri. Tetapi dunia bertambah maju
[1], sekelompok orang mengkhususkan diri untuk bertani, kelompok yang lain mencari ikan di laut, kumpulan yang lain menjadi tukang jahit dan ada juga yang mengkhususkan diri menjadi tabib.

Sepertinya tidak ada yang salah dengan pembagian kerja atau pengkhususan. Tetapi mari kita amati apa yang terjadi saat ini, para tabib-tabib ini telah membangun ilmu dan dirinya dengan kemajuan yang luar biasa. Dan lebih hebatnya lagi, ilmu pengtahuan ini dipakai dengan sangat baik sekali untuk menciptakan kesejahteraan yang sangat layak bagi sebagian besar dokter. Hmmm tidak salah kalau kita membacanya dipermukaan saja. Kalau kita masuk kedalam intrik-intriknya maka kita bisa menemukan keanehan
[2].

Sewaktu saya bekerja sesaat menjadi seorang dokter di beberapa klinik di Jakarta, sebagian besar penghasilan didapatkan dari sakit batuk pilek saja. Suatu penyakit ringan yang sebenarnya tidak diapa-apakan pun akan sembuh sendiri. Saya jadi malu. Hanya enam bulan saya bertahan dengan rasa malu ini dan akhirnyua saya berhenti.

Apa keanehan ini hanya terjadi pada dokter umum saja? Ternyata juga terjadi pada dokter yang sudah lebih mengkhususkan diri. Kita ambil satu contoh, misalnya dokter ahli kandungan dan kebidanan. Di Jakarta ini, sangat jarang saya mendengar ada dokter umum yang menolong persalinan normal. Atau juga sebaliknya, masih banyak dokter spesialis ini yang mencari makan dari persalinan normal. Padahal persalinan normal adalah proses yang sangat alamiah yang dapat terjadi dengan sendirinya (atau dengan bantuan sederhana).

Apa akibat dengan semua ini? Biaya tinggi! Orang yang batuk pilek yang sebenarnya hanya perlu istirahat yang cukup, makanan yang bergizi dan mungkin beberapa obat pereda gejala yang mengganggu, harus membayar upah dokter, dan obat yang lebih mahal karena dibeli dengan resep dokter. Belum lagi kalau ia harus juga membeli antibiotik yang sebenarnya pada sebagian besar kasus tidak perlu sama sekali. Tetapi kepala sebagian besar orang sudah diisi dengan pemikiran bahwa ke dokter lebih baik atau lebih cepat sembuh. Mengapa pengetahuan sederhana ini tidak disebarkan dengan baik kepada masyarakat kita? Mengapa dokter-dokter ini ketika menerima klien dengan masalah seperti ini tidak memberikan pengetahuan yang benar dalam konseling mereka. Jawabannya singkat, karena hubungan dokter klien di Indonesia ini bukanlah hubungan yang setara. Sangat jarang dokter yang menghormati hak klien dengan memberikan waktu konsultasi yang sepadan dengan harga yang ia telah tetapkan. Harga yang dikeluarkan hanya ditukar dengan selembar kertas resep yang tulisannya tidak jelas. Bahkan jenis dan tujuan pemberian obat pun jarang disampaikan. Mengapa profesi dokter saat ini menjadi seperti dukun? Bahkan saya amati, dukun saat ini lebih costumer oriented daripada dokter.

Kembali kepada monopoli. Di mana monopolinya? Ini memang bukan monopoli usaha, tetapi monopoli pemikiran. Pengetahuan kedokteran yang sangat sederhana sekalipun dimonopoli oleh dokter. Padahal untuk urusan batuk pilek seharusnya menjadi urusan semua orang.

Monopoli kesehatan apalagi yang ada? Masih banyak! Yang disebutkan di atas hanyalah contoh
Kalau kalian tidak setuju dengan tulisan saya ini atau tidak menyukainya, berarti anda sudah berpikir kritis. Dunia kesehatan perlu pemikiran kritis yang tidak selalu mengekor dan berkata ‘ya’.
[1] Maju atau mundur tergantung siapa yang melihat dan dari perspektif apa,.
[2] Untuk sementara saya gunakan istilah keanehan. Tetapi yang sebenarnya ingin saya gunakan adalah ketidakadilan. Karena kalau saya gunakan istilah yang kedua ini, perdebatan akan segera mencuat, sehingga saya untuk saat ini mengalah dahulu.

No comments: