tidak ada kondom

tidak ada kondom
Iklan ini diangkat dari kisah nyata. Beberapa anak muda di suatu desa di Papua menggunakan plastik ketika melakukan hubungan seks. Tujuannya untuk mencegah penularan HIV. Mereka tahu bahwa hubungan seks dapat menularkan virus ini, tetapi kondom sulit didapat dan mahal harganya.

Saturday, March 3, 2007

WAMENA: RISIKO TINGGI HIV Anak-anak muda dari desa yang tinggal di Wamena

Seperti telah diungkapkan pada bagian-bagian terdahulu bahwa Wamena menjadi magnet bagi anak-anak muda di desa-desa sekitar Wamena[1]. Di kota ini terdapat banyak sekali anak-anak yang bersekolah di SMP dan SMA di ini. Terdapat 8 SMP dan 6 SMA dengan jumlah pelajar SMP sejumlah 3866 dan SMA sebanyak 3235 pelajar. Suatu jumlah yang sangat banyak jika dibandingkan dengan jumlah penduduk yang ada di Wamena, yaitu sebanyak 48212 jiwa. Dari sekelompok informan pelajar di sebuah FGD, hampir 75% dari mereka adalah pendatang dari desa-desa. Jumlah ini tidak termasuk anak-anak muda yang tidak bersekolah di Wamena.

Mereka pada umumnya berasal dari luar kota Wamena. Sebagian besar dari mereka tinggal jauh dari orang tua mereka. Mereka tinggal bersama dengan saudara mereka atau tinggal bersama sesama pelajar di honai-honai. Seperti telah diungkapkan pada bab-bab terdahulu, bahwa mereka menjadi sangat independent. Orang tua mereka dan gereja tidak lagi bisa menjaga mereka. Keadaan ini merupakan kerentanan bagi mereka. Mereka bisa bebas untuk berpacaran sampai jauh malam atau bahkan menginap dengan pacarnya. Mereka bisa pergi ke pesek tanpa perlu untuk diketahui atau meminta ijin dari orang tua mereka. Kebebasan adalah menjadi sebuah kerentanan bagi anak-anak muda ini.

Anak-anak muda yang tidak sekolah di kota
Secara khusus anak-anak muda yang tidak sekolah berada dalam risiko yang lebih tinggi. Mereka umumnya ada di Wamena untuk bekerja dalam sector informal. Kerentanan ini terjadi karena selain jauh dari orang tua tetapi mereka juga memiliki waktu bebas yang lebih banyak.

Jika anak-anak yang bersekolah dapat dijangkau melalui sekolah-sekolah yang ada di Wamena. Sedangkan mereka yang tidak bersekolah dapat dijangkau misalnya melalui kelompok-kelompok informal, misalnya kelompok tukang becak, kelompok penghirup lem Aibon, kelompok tukang cuci mobil, kelompok kondektur taxi, kelompok pekerja buruh angkut di toko-toko.
[1] Bahkan seorang anak yang ditemui oleh penulis berasal dari sebuah desa yang jaraknya 30 hari jalan kaki menuju Wamena.

No comments: