tidak ada kondom

tidak ada kondom
Iklan ini diangkat dari kisah nyata. Beberapa anak muda di suatu desa di Papua menggunakan plastik ketika melakukan hubungan seks. Tujuannya untuk mencegah penularan HIV. Mereka tahu bahwa hubungan seks dapat menularkan virus ini, tetapi kondom sulit didapat dan mahal harganya.

Saturday, March 3, 2007

WAMENA:Efek samping pembangunan pada anak muda

Lembah Beliem mengalami revolusi budaya yang sangat cepat. Orang-orang yang 50 tahun yang lalu hanya mengenal peralatan dari batu kini berhadapan dengan pesawat terbang, TV, Laptop yang dibawa oleh orang asing (termasuk staf WVI). Dulu mereka menyampaikan informasi dan pendidikan secara verbal. Honai, lading dan hutan adalah tempat anak-anak ber’sekolah’. Seorang ayah mendidik anak laki-lakinya demikian juga seorang ibu mendidik anak perempuannya. Kini pendidikan dilakukan oleh guru di sekolah-sekolah. Mereka diajarkan budaya baru yaitu budaya baca tulis. Anak-anak yang saat ini bersekolah adalah generasi pertama atau kedua dari budaya baca tulis ini. Banyak dari orang tua mereka tidak pernah bersekolah sama sekali.

Sayangnya sekolah yang baik hanya tersedia di kota Wamena. Akibatnya ribuan anak dengan segala upaya yang keras merantau ke Wamena. Seorang tukang becak yang bersekolah di sebuah SMP di Wamena menceritakan bahwa ia berjalan 4 hari dari desanya untuk mencapai Wamena. Ia kini tinggal di sebuah Honai bersama dengan teman-temannya. Dia membiayai sendiri sekolah dan kebutuhan sehari-harinya dengan menjadi tukang becak dan juga menanam hipere di sekitar honainya. Cerita yang sama juga diceritakan oleh beberapa tukang becak lainnya dan juga beberapa siswa-siswi di sebuah SMP di kota Wamena. Anak-anak muda yang mandiri dan berani untuk menghadapi hidup sendiri[1].
Cerita ini juga diceritakan oleh beberapa orang dewasa di desa[2]. Tetapi mereka menambahkan cerita tersebut bahwa akibat dari anak-anak muda tersebut merantau jauh dari orang tua dalam waktu yang sangat lama. Orang tua di desa tidak bisa lagi mengontrol mereka. Orang-orang tua ini tahu bahwa anak-anak mereka setelah di kota, mereka melakukan banyak hal yang bertentangan dengan budaya dan ajaran agama Kristen. Tetapi mereka tidak punya ‘kuasa’ lagi atas mereka. Anak-anak itu jauh dan mencari makan sendiri. Mereka berkata:
“Mereka sudah lupa apa yang Gereja ajarkan.”

Anak-anak lebih mendengar apa yang teman-teman mereka katakan. Informasi tentang seks misalnya, mereka berusaha untuk cari tahu melalui film porno yang tersedia di pasar di Wamena. Beberapa kios secara sembunyi-sembunyi memutar film porno dengan menggunakan TV. Anak-anak muda yang pada umumnya adalah orang Papua asli menonton dengan hanya membayar Rp. 1000 atau 2000 saja. Seorang anak berkata:
“Saya tahu tentang hal itu dari film itu.”

Pembangunan yang diharapkan dapat meningkatkan kualitas manusia, ternyata memiliki efek samping yang sangat merugikan generasi muda. Pendidikan telah berhasil menarik mereka dari desanya yang terpencil, tetapi juga menarik mereka dari tatanan kehidupan mereka yang semula. Gereja yang baru saja 50 tahun merubah kehidupan mereka, juga terlupakan oleh mereka. Akses informasi yang lebih baik juga dimanfaatkan untuk menyebarkan informasi yang tidak baik untuk anak-anak muda. Seorang anak dari desa yang bersekolah di Wamena bercerita bahwa ada telepon genggam yang dapat menayangkan film porno. Dan dia akhirnya melihat adegan-adegan itu dari telepon gengggam milik temannya itu. Sebuah lompatan budaya yang sangat luar biasa.
[1] Ini sebenarnya adalah suatu modal yang baik untuk memotivasi mereka untuk mau terlibat dalam kegiatan ‘peer educator’ atau pendidikan teman sebaya. Motivasi mereka untuk merantau, berdikari harus bisa digunakannya juga untuk menjadi motivasi untuk ‘jaga diri baek-baek’ dan memberitakan ini kepada teman-teman mereka.
[2] Orang-orang ini berkomunikasi dengan bahasa Lani dan diterjemahkan kepada saya oleh seorang FP. Mereka adalah generasi pertama yang menjadi Kristen di desanya dan belum pernah sekolah. Sedangkan anak-anak mereka adalah generasi pertama yang bersekolah.

No comments: