tidak ada kondom

tidak ada kondom
Iklan ini diangkat dari kisah nyata. Beberapa anak muda di suatu desa di Papua menggunakan plastik ketika melakukan hubungan seks. Tujuannya untuk mencegah penularan HIV. Mereka tahu bahwa hubungan seks dapat menularkan virus ini, tetapi kondom sulit didapat dan mahal harganya.

Saturday, March 3, 2007

Dasar filosofis pengembangan masyarakat dan kesehatan

Kita percaya bahwa dunia ini diciptakan oleh Allah sebagai rumah bagi semua orang, laki-laki dan perempuan untuk hidup dalam kepenuhan. Dunia adalah rumah bagi manusia untuk dapat membagi kehidupan yang bersumber dari Allah. Tetapi dosa telah membuat dunia ini menjadi tempat yang tidak nyaman untuk semua orang. [1] Kerusakan lingkungan akibat keserakahan sekelompok manusia telah mengakibatkan manusia yang lain terasingkan dari lingkungannya sendiri dan mengalami kesulitan untuk hidup dari nya. Keserakahan sekelompok manusia telah membuat mereka menguasai sebagian besar sumber daya alam dan memanfaatkannya untuk kepentingan mereka semata. Sedangkan manusia lainnya harus bersusah payah dengan sumber daya yang terbatas untuk menghidupi mereka dan anak-anak mereka.

Masyarakat yang memiliki kesulitan untuk mengakses sumber ekonomi, pendidikan, pelayanan kesehatan dan menyatakan keinginan mereka berada dalam risiko yang jauh lebih besar untuk mengalami masalah kesehatan. Penyakit-penyakit menular yang sebenarnya dapat dicegah dengan imunisasi dan kebersihan diri menyerang mereka dan belum dapat diatasi disebagian besar masyarakat miskin. Sementara penyakit-penyakit baru seperti HIV/AIDS mengancam mereka lebih kuat daripada mereka yang kaya. Anak-anak mereka dilahirkan dengan keadaan yang sangat terbatas, dibesarkan dengan kekurangan makan
[2]. Semua keadaan ini mengakibatkan mereka berada dalam kualitas hidup yang rendah dan akhirnya membuat mereka kalah bersaing dengan mereka yang lebih beruntung. Anak-anak miskin dipemukiman kumuh dan padat di Cilincing misalnya sangat sering mengalami diare sedangkan makanan yang diterima tidak mencukupi kebutuhan mereka untuk bertumbuh dengan baik. Keadaan ini membuat semakin rendahnya kualitas sumber daya manusia dan membuat mereka jatuh semakin dalam kemiskinan dan penyakit.

Pada tahun 1978, pada sebuah konferensi di Alma-ata di mana 134 utusan negara dikoordinir oleh WHO dan UNICEF bertekat untuk mencapai “Health for All by the year 2000” dan telah menetapkan Pelayanan Kesehatan Dasar sebagai alat terbaik untuk mencapai tekat tersebut. Namun, tekat itu tidak tercapai. Negara-negara miskin termasuk Indonesia masih tetap berada dalam masalah kesehatan yang sama seperti tahun 1978, belum lagi mereka juga menghadapi masalah kesehatan baru seperti HIV/AIDS dan penyakit yang menular dengan cepat misalnya Flu Burung.

Jurang ketidakadilan antara negara kaya dan miskin dan masyarakat kaya dan miskin dalam negara miskin itu sendiri menjadi semakin lebar.
[3] Dalam bidang kesehatan, ketidakadilan juga terjadi dan menjadi semakin lebar. Pelayanan kesehatan dasar yang diterapkan sejak deklarasi Alma-Ata ditandatangani telah gagal diterapkan dengan baik. Masyarakat miskin hanya sekedar menjadi objek dari upaya perbaikan kesehatan mereka. Suara mereka tetap tidak didengar oleh birokrat kesehatan dunia dan masing-masing negara.[4]

Setelah Alma-Ata, deklarasi demi deklarasi bahkan serangkaian Tujuan Pembangunan Milenium telah ditetapkan untuk mencapai keadaan masyarakat (termasuk kesehatan) yang lebih baik. Sejalan dengan itu, kritik terhadap mereka juga telah menyambut mereka. Pengentasan masalah kemiskinan dan kesehatan telah menjadi industri yang sangat besar dan telah melupakan kemanusiaan itu sendiri. Birokrat kesehatan mengerahkan uang dalam jumlah sangat besar dengan pendekatan yang terus dikaji tetapi masalah kesehatan masyarakat miskin tetap ada.

Kalau pelayanan kesehatan pencegahan dan pengobatan yang telah disusun oleh para birokrat telah gagal untuk menurunkan masalah kesehatan utama masyarakat miskin di dunia ini. Maka kini saatnya kita berpaling kepada manusia yang menderita itu sendiri. Suara orang tertindas, miskin dan berpenyakit itulah yang perlu kita dengar. Memahami penderitaan mereka, penindasaan yang mereka alami, ketidakadilan ekonomi dan politik yang mereka jalani perlu menjadi tindakan pertama dan utama dalam perjuangan mencapai kesehatan yang lebih baik.

Akar yang sama
Karenanya, dalam mengatasi masalah kesehatan pada masyarakat miskin dan tertindas, yaitu mereka yang menjadi mitra utama WVI, harus didasari oleh pemahaman yang jernih atas akar masalah ini semua. Bahwa akar masalah kesehatan adalah sama dengan akar masalah sector lainnya. Ketidakadilan menjadi juga menjadi akar masalah pendidikan, ekonomi dan lingkungan. Pemisahan masalah kesehatan dari akar masalahnya akan mengakibatkan tidak terarahnya strategi penyelesaian masalah bahkan dapat menimbulkan persaingan dengan sector lainnya. Sektor keehatan tidak boleh bersaing dengan sector pendidikan, karena mereka lahir dari masalah yang sama. Sehingga letak strategi penyelesaian masalah kesehatan harus berada dalam harmoni dengan strategi penyelesaian masalah sector lainnya yang terjalin menjadi satu strategi penghapusan ketidakadilan.

ADP, tempat kita berharap
Transformasi masyarakat yang diharapkan oleh WVI adalah menjadi harapan bagi upaya perbaikan keadaan kemiskinan dan buruknya kesehatan. Kabar baik Kristus yang mendamaikan manusia dan penciptanya juga diharapkan memulihkan hubungan manusia dan manusia. Ketidakadilan diharapkan akan dikurangi dengan signifikan saat hubungan mereka dengan Tuhan dipulihkan. Keserakahan dari mereka yang lebih pandai, lebih kaya, lebih berkuasa diharapkan dilenyapkan saat mereka sadar bahwa Tuhan menciptakan dunia ini untuk semua orang. Pada saat yang sama, mereka bodoh, miskin, lemah diharapkan memiliki pengharapan dan semangat baru untuk berusaha keluar dari kemiskinan dan sakit-penyakit saat mereka mengetahui bahwa Tuhan telah memberikan pembebasan dan harapan hidup dalam kepenuhan bagi mereka.

ADP adalah tempat di mana harapan kita tersebut diletakan. WVI memilih beberapa desa atau kecamatan atau kebupaten tertentu untuk memungkinan transformasi menyeluruh terjadi. Di dalam pendekatan ini, WVI mengarahkan kegiatannya dalam kendali Tuhan yang diperoleh dalam dialog dengan masyarakat miskin dan tertindas. Transformasi tidak dapat terjadi jika masyarakat hanya menjadi objek perubahan. Transformasi tidak dapat terwujud jika kita lebih banyak bicara dan menyusun konsep tanpa mendengar suara mereka.

Masalah kesehatan, salah satu bagian dari semua kesulitan hidup mereka yang tertindas dan miskin, juga adalah bagian transformasi yang diharapkan WVI. Kemampuan untuk memahami masalah kesehatan yang melewati sekedar angka-angka statistic dan fakta-fakta ilmu pengetahuan termungkinkan untuk dilakukan oleh ADP
[5]. Di dalam ADP, seluruh masalah dan konteksnya dimengerti dengan interaksi yang mendalam dengan masyarakat. Bahkan ADP sebenarnya adalah bagian dari masyarakat itu sendiri.

Namun sering kali, keunggulan ADP tidak maksimal digunakan untuk menyelesaikan masalah kesehatan yang ada. Solusi masalah kesehatan dianggap harus rumit, canggih dan memerlukan orang-orang ahli. Kesehatan dan pelayanan kesehatan telah dilepaskan dari kehidupan keseharian oleh modernitas. Masyarakat miskin teralienasi dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan. Mereka bertindak sebagai penonton atau sesekali sebagai konsumen dengan biaya yang tinggi. Mengembalikan urusan kesehatan kepada rakyat jelata sepertinya perlu dilakukan oleh ADP. Mempercayai bahwa ADP dan masyarakat dapat memahami, mencari jalan keluar sendiri dari masalah kesehatan yang ada dan mengelolanya perlu dikembangkan. Keyakinan bahwa mengatasi masalah kesehatan pada masyarakat miskin dan tertindas tidak memerlukan kecanggihan ilmu pengetahuan semata tetapi lebih ditekankan kepada aspek penemuan kearifan setempat yang dapat menjamin kesinambungan dan menekan biaya secara signifikan.
[1] Liturgi dari World Alliance of Reformed Churches, Oktober 2006
[2] Kurang makan disini artinya bukan hanya tidak ada bahan makanan saja (food availability), tetapi tidak ada kemampuan untuk mengakses makanan (food access), kemampuan untuk menggunakannya dengan baik (food utilization). Ada banyak masalah dalam penggunaan bahan makanan karena informasi yang baik tidak sampai kepada mereka.
[3] Ketidakadilan (inequity) adalah yang menjadi sumber masalah. Sering kali ketidakadilan disamakan dengan ketidaksamaan (inequality). Inequality merujuk kepada ketidaksamaan distribusi sesuatu kepada dua kelompok. Sedangkan inequity merujuk kepada ketidakadilan dalam distribusi sesuatu tersebut.
[4] Elaborasi kegagalan ini dapat dibaca dalam People’s Charter for Health yang ditetapkan pada bulan Desember 2000 di Bangladesh.
[5] Ronald Gunawan. “Breastfeeding: beyond facts for life”. Unpublished paper. AMMA, Universiteit van Amsterdam, 2004. Pemahaman masalah kesehatan (dalam paper ini : praktek menyusui ) perlu dibuat untuk melewati fakta-fakta ilmiah. Masalah menyusui bukan sekedar ketidaktahuan ibu-ibu, tetapi ketidakadilan gender membuat mereka terlalu tersibukan dengan berbagai urasan domestic. Promosi ASI eksklusif tanpa pengupayan keadilan gender hanyalah merupakan beban baru bagi ibu-ibu miskin.

No comments: