tidak ada kondom

tidak ada kondom
Iklan ini diangkat dari kisah nyata. Beberapa anak muda di suatu desa di Papua menggunakan plastik ketika melakukan hubungan seks. Tujuannya untuk mencegah penularan HIV. Mereka tahu bahwa hubungan seks dapat menularkan virus ini, tetapi kondom sulit didapat dan mahal harganya.

Saturday, February 7, 2009

Kondom Bukan Pembenaran Seks Bebas

22/01/2009 14:36 wib - Nasional Aktual
Kondom Bukan Pembenaran Seks Bebas

Jayapura, CyberNews. Anjuran penggunaan kondom untuk mencegah penularan virus HIV melalui hubungan badan, bukan berarti menjadi pembenaran bagi masyarakat untuk melakukan aktivitas seks bebas. Hal tersebut disampaikan oleh Spesialis HIV/AIDS dari World Vision Indonesia (WVI), dr Ronald S Gunawan, MA di sela-sela acara Pembekalan Informasi HIV dan AIDS Untuk Partai Politik yang diselenggarakan oleh WVI di Jayapura, Kamis (22/1).

"Memakai kondom adalah pilihan untuk melindungi diri dan pasangan dari penularan HIV, tapi tidak berarti karena aman lalu setiap orang boleh melakukan hubungan dengan yang bukan pasangannya," ujarnya.

Berdasarkan laporan survei AIDS per 31 Maret 2008 yang dikeluarkan oleh Dinas Kesehatan Provinsi Papua, jumlah orang yang terinveksi HIV dan pengidap AIDS menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat. Jumlah ini paling banyak terdapat pada golongan masyarakat yang berusia antara 20 hingga 30 tahun.

Papua menjadi salah satu daerah yang paling tinggi jumlah penduduknya terinveksi HIV sekaligus terbanyak pengidap AIDS di Indonesia. Data yang diperoleh Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Papua mencatat hingga Bulan Maret 2008, kasus HIV/AIDS di Papua mencapai 3.955 kasus terdiri atas 2.182 kasus inveksi HIV dan 1.773 kasus pengidap AIDS.

Menurut data tersebut Kabupaten Merauke adalah daerah yang paling banyak jumlahnya warga yang terinfeksi yaitu 987 kasus, terdiri atas 604 kasus inveksi HIV dan 383 kasus pengidap AIDS.

Ronald menyatakan bahwa meningginya kasus HIV/AIDS di Papua disebabkan oleh beberapa faktor yang saling terkait. "Masalah HIV/AIDS bukan hanya masalah kesehatan, sehingga penyelesaiannya pun menuntut keterlibatan lintas sektor," kata dokter yang juga seorang antropolog ini.

Dia mengatakan bahwa faktor pertama adalah tingginya pengidap penyakit kelamin di Papua. "Orang yang terjangkit penyakit seksual lebih mudah terinveksi HIV," jelas Ronald. Dia menambahkan banyaknya orang yang sakit kelamin lebih disebabkan karena pelayanan kesehatan yang masih minim, terutama di daerah-daerah terpencil.

Faktor ke dua adalah masalah sosial. Berdasarkan pengamatannya, Ronald menilai bahwa kebanyakan masyarakat di Papua memiliki pasangan seks sebelum menikah lebih dari satu. "Pasangan seks multi-partner seperti ini lebih besar probabilitasnya untuk tertular HIV," tegasnya.

Berikutnya adalah masalah pendidikan dan pengetahuan mengenai HIV/AIDS. Ronald mencontohkan di beberapa negara, materi tentang HIV/AIDS telah dimasukkan sebagai bagian dari pelajaran di sekolah. Dengan demikian anak-anak usia sekolah paham mengenai hal tersebut sejak dini sehingga memudahkan terbentuknya pemahaman yang tepat tentang penyakit ini.

"Di Indonesia, jangankan anak sekolah, para guru pun mungkin belum paham betul soal HIV/AIDS," kata Ronald. Pengetahuan dan informasi soal HIV/AIDS yang benar, penting untuk mencegah segala kemungkinan penularan.

Sedangkan faktor ke empat adalah masalah ekonomi dalam kaitannya dengan akses masyarakat untuk memperoleh pelayanan pendidikan dan kesehatan. "Orang-orang yang tidak mampu, tidak mudah untuk mendapatkan akses pendidikan dan kesehatan. Padahal dua bidang ini sangat berpengaruh terhadap penularan HIV/AIDS," ujar Ronald.

Oleh karena itu, penyelesaian masalah tingginya angka HIV/AIDS di Indonesia memerlukan penanganan yang holistik dan komprehensif dengan melibatkan banyak pihak dari berbagai bidang. Bukan hanya bidang kesehatan, tapi juga ekonomi, pendidikan, sosial budaya, hukum bahkan politik yang berkaitan dengan kepemimpinan yang tangguh dan kuat untuk menyusun regulasi serta rencana strategis.

(Ant /CN05)