tidak ada kondom

tidak ada kondom
Iklan ini diangkat dari kisah nyata. Beberapa anak muda di suatu desa di Papua menggunakan plastik ketika melakukan hubungan seks. Tujuannya untuk mencegah penularan HIV. Mereka tahu bahwa hubungan seks dapat menularkan virus ini, tetapi kondom sulit didapat dan mahal harganya.

Thursday, July 19, 2007

Hak Anak dan Pencegahan AIDS di Papua

Hari ini diperingati sebagai Hari Anak Nasional yang sudah 23 kali diperingati oleh bangsa Indonesia. Penetapan peringatan hari anak ini merupakan suatu bentuk perhatian terhadap keberadaan anak-anak yang merupakan masa depan bangsa ini. Walaupun demikian, perhatian terhadap kehidupan anak-anak tidaklah cukup dengan mengadakan acara seremonial saja. Karenanya pemerintah Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi Hak Anak PBB melalui Keppres No. 36 Tahun 1990. Sebuah undang-undang juga telah diundangkan, yaitu UU no. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Berbagai upaya perlindungan anak dilakukan untuk memastikan keceriaan anak-anak Indonesia tidak terganggu oleh tindakan diskriminasi, eksploitasi (baik ekonomi maupun seksual), penelantaran, kekejaman, kekerasan, penganiyaan, ketidakadilan dan perlakuan salah lainnya (Pasal 13 UU no. 23 Tahun 2002). Semua ini dilakukan untuk menjamin masa depan anak yang lebih baik – masa depan bangsa ini. Undang-undang ini menjamin empat hak anak yang mendasar, yaitu hak hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi dan mendapat perlindungan. Orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara wajib memenuhi keempat hak anak ini.

Untuk terpenuhinya hak-hak tersebut, UU ini menguraikan lebih jelas bahwa negara, pemerintah, keluarga dan orang tua wajib mengusahakan agar anak terbebas dari penyakit yang mengancam kehidupan mereka (pasal 46). Pasal ini sepertinya jauh dari kenyataan bila kita mempelajari sebuah penelitian di Tanah Papua tentang HIV dan AIDS yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan dan Badan Pusat Statistik pada akhir tahun lalu. Survei ini menemukan bahwa anak-anak Papua berada dalam kerentanan yang tinggi untuk terkena HIV dan AIDS.

Survei ini menemukan bahwa prevalensi HIV di kalangan anak-anak dan pemuda (15-24 tahun) adalah sebesar 3 persen. Sebuah angka yang sangat mengejutkan kita. Lebih jauh lagi, survei ini juga mengungkapkan kecenderungan semakin banyak penduduk dengan usia 15-24 tahun yang melakukan hubungan seks pertama sebelum usia 15 tahun dibandingkan penduduk dengan kelompok umur yang lebih tua. Kecenderungan ini jauh lebih tinggi pada penduduk perempuan dibandingkan penduduk laki-laki. Sayangnya penelitian ini tidak mengungkapkan prevalensi HIV pada anak-anak yang lebih muda, yang mungkin terinfeksi HIV dari ibu mereka.

Perilaku seks anak-anak di Papua
Hasil survei ini juga didukung oleh berbagai penelitian lain, termasuk yang dilakukan oleh penulis. Dalam berbagai diskusi dengan anak-anak di kabupaten Jayawijaya, penulis menemukan bahwa anak-anak berusia sekitar 16 sampai 18 tahun mengaku sering terlibat dalam pesta, baku goyang atau disko yang didalamnya diselingi hubungan seks.
Leslie Butt, seorang antropolog, juga menemukan hal yang serupa. Butt menjelaskan bahwa generasi muda di Papua berada dalam kerentanan yang sangat tinggi terhadap HIV karena mereka terlibat dalam hubungan seks mulai pada usia yang sangat muda. Video porno sangat mudah ditemukan bahkan dipedalaman sekalipun. Hubungan seks untuk uang juga dilakukan oleh anak-anak perempuan. Keadaan ini diperparah dengan perilaku menghirup lem, merokok dan alkohol.

Pemahaman yang dangkal akan keadaan ini hanya akan menimbulkan penyalahan terhadap perilaku seks mereka atas tingginya prevalensi HIV di kalangan anak-anak dan pemuda di sana. Akibatnya tindakan yang dilakukan hanyalah sebatas melarang anak-anak melakukan perilaku-perilaku tersebut tanpa upaya kongkrit untuk melenyapkan faktor-faktor penyebabnya.

Telah banyak penelitian di Tanah Papua yang menunjukkan bahwa perubahan sosial yang amat drastis berpengaruh besar dalam terkikisnya nilai-nilai moral yang sebelumnya menjaga kehidupan masyarakat di sana. Pendidikan yang sebelumnya dilakukan oleh orang tua dan keluarga yang dilakukan dalam honai-honai telah digantikan oleh pendidikan modern yang diselenggarakan oleh pemerintah. Sedangkan kita ketahui bersama kualitas pendidikan di sana sangatlah jauh dari memadai. Kehidupan yang sebelumnya sangat harmonis dengan alam tergantikan dengan eksploitasi berlebihan yang mengakibatkan terkuasainya sumber daya alam oleh sekelompok kecil masyarakat. Perubahan-perubahan inilah yang mengakibatkan anak-anak meninggalkan desanya menuju ke kota – tanpa pengawasan orang tua mereka dan berbuat semaunya, semakin tingginya kekerasan domestik dan juga menjamurnya seks komersil. Anak-anak tidak lagi tertarik untuk menerapkan norma-norma yang sebelumnya mengikat mereka.

Selain perubahan sosial yang drastis, sebab lain yang berkontribusi dalam epidemi HIV dan AIDS ini adalah kemiskinan, tidak tersebarnya pendidikan yang berkualitas, rendahnya akses terhadap pelayanan kesehatan.

Melihat keadaan ini, jika semua pihak tidak melakukan tindakan yang nyata maka kita akan kehilangan masa depan anak-anak kita di Papua. Dapat dipastikan ribuan bahkan ratusan ribu anak-anak akan terkena HIV kalau kita tetap terlena oleh seremoni perayaan Hak Anak Nasional yang biasanya penuh keceriaan.

Pemenuhan Hak Anak
Tindakan nyata yang diperlukan tidaklah sebatas kampanye pencegahan HIV dan AIDS saja, tetapi upaya menyeluruh untuk memastikan hak-hak anak terpenuhi. Semua pihak tanpa terkecuali harus mengupayakannya. Pemerintah wajib menyelenggarakan upaya kesehatan yang komprehensif bagi anak, yang meliputi upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif (pasal 44).

Pemerintah juga wajib menyediakan pendidikan dasar untuk semua anak (pasal 48). Pendidikan yang dimaksud bukanlah sekedar mengasah kemampuan kognitif tetapi juga pengembangan sikap dan kemampuan kepribadian, pengembangan rasa hormat terhadap budaya dan nilai-nilainya (pasal 50). Pendidikan yang berkualitas terbukti ampuh untuk mengatasi epidemi HIV dan AIDS.

Bahkan sebenarnya negara dan pemerintah wajib untuk memberikan dukungan sarana dan prasarana untuk memungkinkan terjadinya perlindungan anak (pasal 22), misalnya lapangan bermain, lapangan olahraga, gedung kesenian, tempat rekreasi dan lain-lain. Sarana ini diharapkan dapat digunakan oleh anak-anak untuk mengisi waktu mereka dengan kegiatan yang berguna.

Upaya komprehensif pencegahan HIV dan AIDS pada anak perlu dilakukan dalam kerangka pemenuhan hak hidup – hak yang paling mendasar bagi anak-anak kita. Keterlibatan semua pihak diperlukan untuk melakukan hal ini. Semoga dana otonomi khusus yang melimpah di Tanah Papua dapat digunakan semaksimal mungkin untuk jaminan atas terlindunginya anak-anak dan hak-hak mereka. Semoga pada perayaan Hari Anak Nasional pada tahun-tahun yang akan datang, keceriaan anak-anak Papua bukanlah keceriaan yang semu dan mereka terbebas dari ancaman HIV dan AIDS.

Hak Anak dan Gizi Buruk

Sudah 23 kali Hari Anak Nasional diperingati. Pada tahun ini, semarak peringatannya sudah dimulai sejak beberapa minggu yang lalu bersamaan dengan hari libur sekolah. Penetapan peringatan hari anak ini merupakan suatu bentuk perhatian terhadap keberadaan anak-anak yang merupakan masa depan bangsa ini. Tidak hanya sekedar menetapkan hari anak, pemerintah Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi Hak Anak PBB melalui Keppres No. 36 Tahun 1990. Sebuah undang-undang juga telah diundangkan, yaitu UU no. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Berbagai upaya perlindungan anak dilakukan untuk memastikan keceriaan anak-anak Indonesia tidak terganggu oleh tindakan diskriminasi, eksploitasi (baik ekonomi maupun seksual), penelantaran, kekejaman, kekerasan, penganiayaan, ketidakadilan dan perlakuan salah lainnya (Pasal 13 UU no. 23 Tahun 2002). Semua ini dilakukan untuk menjamin masa depan anak yang lebih baik. Undang-undang ini juga menjamin empat hak anak yang mendasar, yaitu hak hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi dan mendapat perlindungan.

Gizi buruk
Untuk menjamin anak hidup, tumbuh dan berkembang dengan baik, semua pihak yaitu orangtua, keluarga, negara dan pemerintah wajib mengusahakan agar anak terbebas dari penyakit yang mengancam kehidupan mereka (Pasal 46). Orangtua dan keluarga juga bertanggung jawab merawat anak bahkan sejak dalam kandungan (Pasal 45). Berbeda dengan harapan dari pasal-pasal ini, kenyataan berbicara lain. Tidak jarang media massa melaporkan balita yang mengalami gizi buruk. Suatu keadaan yang pasti tidak mendukung kehidupan, pertumbuhan dan perkembangan mereka.

Tumbuh dan kembang anak sangat memerlukan keadaan gizi yang baik. Tanpa terpenuhinya gizi yang baik, dapat kita bayangkan rendahnya kualitas manusia Indonesia pada 10 atau 20 tahun yang akan datang. Pada masa datang itu persaingan dengan bangsa lain tidak mungkin kita elakkan dan akibatnya kita akan tersisihkan dalam persaingan global. Sungguh suatu keadaan yang harus kita hindari.

Di provinsi Nusa Tenggara Timur tingginya prevalensi balita gizi kurang dan buruk adalah keadaan yang lazim. Di tahun 2005 sekitar 28,8 persen balita di provinsi ini menderita gizi kurang dan buruk. Sedangkan tahun 2006, Dinas Kesehatan setempat melaporkan terjadi sedikit kenaikan di mana sekitar 30 persen anak mengalami keadaan tersebut. Data berbeda ditampilkan oleh sebuah LSM yang menemukan bahwa 55,5 persen balita menderita gizi kurang dan buruk di empat kecamatan di kabupaten Timor Tengah Selatan. Meskipun angka prevalensi sangat bervariasi, tidak ada yang menyangkal bahwa banyak balita di provinsi ini mengalami keadaan kurang gizi yang telah berlangsung lama.

Kerawanan pangan
Dapat kita perkirakan bahwa keluarga sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam pemenuhan gizi balita mengalami masalah dalam pemenuhan kebutuhan pangan mereka. Sebuah penelitian pada pertengahan tahun ini yang diadakan oleh Universitas Cendana dan World Vision Indonesia menemukan bahwa sekitar 70 persen keluarga di kabupaten Sumba Barat berada dalam kerawanan pangan dengan tingat kelaparan sedang. Sedangkan LSM lain menemukan sekitar 45 persen keluarga berada pada keadaan tersebut di kabupaten Timor Tengah Selatan pada tahun 2006.

Rendahnya curah hujan di daerah ini dan cara pertanian yang masih sangat sederhana menjelaskan sebab terjadinya kerawanan pangan di NTT yang akhirnya mengorbankan masa depan anak-anak di sana. Tetapi kita seharusnya tidak menyerah pada keadaan ini. Kehidupan, pertumbuhan dan perkembangan anak tidak boleh diabaikan karena kita menyerah terhadap tantangan alam ini.

Pasal 45 UU 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa dalam keadaan orangtua dan keluarga tidak mampu menjaga kesehatan anak dan merawatnya, maka pemerintah wajib memenuhinya. Tentunya yang diperlukan bukan hanya bantuan pangan sesaat yang sifatnya hanya rehabilitatif, tetapi program pertanian yang memampukan masyarakat di sana terbebas dari kerawanan pangan.

Tanggung jawab orangtua
Di saat yang sama, orangtua dan keluarga sebagai pihak yang paling bertanggung jawab, seharusnya diajak untuk semaksimal mungkin memenuhi kebutuhan gizi anak-anak mereka. Berbagai penelitian membuktikan masih banyak ibu yang tidak tahu tentang keunggulan ASI dan cara pemberian ASI yang benar. Padahal ASI adalah makanan yang paling cocok dan bergizi untuk anak berusia di bawah dua tahun. Pemberian ASI dengan benar akan dapat mencegah terjadinya kurang gizi.

Informasi tentang keunggulan ASI seharusnya diberitakan dengan jelas melalui berbagai media, salah satunya adalah media massa. Perlu diberitakan bahwa selama enam bulan pertama kehidupan bayi, mereka hanya perlu ASI saja. Ini yang disebut sebagai ASI eksklusif. Setelah itu, ASI tetap merupakan makanan terbaik sampai anak berusia dua tahun, tetapi perlu diberikan makanan yang mendampingi pemberian ASI yang sering disingkat MP-ASI atau makanan pendamping ASI. Keunggulan tentang ASI ini tidak terbantahkan dan telah direkomendasikan oleh Badan Kesehatan Dunia dan juga oleh pemerintah Indonesia melalui Departemen Kesehatan.

Sebuah upaya perbaikan gizi balita yang dilakukan oleh masyarakat di Sumba Barat yang difasilitasi oleh World Vision Indonesia, membuat suatu terobosan dengan menghubungkan pemenuhan gizi balita dengan kesadaran akan hak anak. Kelompok masyarakat di beberapa desa menyisihkan lahan pertanian mereka untuk ditanami kacang hijau, jagung dan kacang kedelai yang hasil panennya dikhususkan untuk balita. Di tengah terbatasnya produksi pangan, masyarakat diajak untuk secara kolektif merencanakan produksi pertanian untuk anak-anak mereka. Walaupun tidak semua lahan pertanian mereka berhasil, tetapi kelompok masyarakat ini telah berhasil mengajak orangtua dan keluarga untuk bertanggungjawab dalam memenuhi hak anak.

Pemenuhan gizi adalah salah satu upaya pemenuhan hak anak. Semua pihak termasuk orangtua, keluarga, masyarakat dan pemerintah wajib untuk menjamin pemenuhannya demi masa depan anak yang lebih baik. Orangtua dan keluarga adalah pihak yang seharusnya paling bertanggungjawab dengan memberi makanan yang terbaik bagi anak-anak. ASI adalah makanan yang terbaik bagi anak berusia di bawah dua tahun. Produksi pangan keluarga seharusnya diutamakan diberikan kepada anak-anak. Sedangkan pemerintah wajib untuk menolong masyarakat yang mengalami kesulitan untuk merawat anak mereka. Semoga peringatan Hari Anak Nasional pada tahun-tahun yang akan datang tidak akan diwarnai dengan gizi buruk.

Tuesday, July 17, 2007

Menghadapi Harga Susu yang Melambung

Suara Pembaruan Jumat, 6 Juli 2007

Oleh Ronald Gunawan

Dalam dua minggu ini media massa gencar memberitakan kenaikan harga susu di berbagai tempat di Indonesia. Dilaporkan bahwa harga susu naik sekitar 10 persen dari harga asal. Ditengarai hal ini terjadi karena faktor eksternal, yaitu kenaikan harga susu di dunia. Diduga kuat, terjadi kekeringan di Australia mengakibatkan turunnya produksi susu sapi di sana. Media juga melansir berita bahwa tingginya harga susu ini kemungkinan akan bertahan sampai akhir tahun ini dengan kenaikan mencapai 15 persen.

Seperti kenaikan harga barang lainnya, media massa mencermati berbagai komentar masyarakat dan sikap dan tindakan pemerintah. Tentu saja dapat ditebak bahwa ibu-ibu keberatan dengan kenaikan harga ini. Mereka mengeluh karena tidak sanggup lagi untuk membeli susu untuk anak mereka. Sedangkan pemerintah nampaknya berusaha untuk menjelaskan kenaikan ini dan terdengar pula kekhawatiran akan meningkatnya jumlah balita gizi buruk akibat keadaan ini. Tetapi tindakan konkrit untuk mengatasi kenaikan harga susu dan dampaknya belum terlihat.
Ada beberapa liputan berita di televisi dan media cetak yang memaparkan keingingan masyarakat untuk mendapatkan susu murah bahkan gratis untuk bayi mereka. Bahkan ada pula yang mendambakan semacam operasi pasar seperti halnya yang terjadi untuk beras dan minyak goreng. Untungnya belum ada dan mudah-mudah tidak terjadi tindakan seperti ini. Operasi pasar atau pembagian susu formula tentunya tidak sejalan dengan kode etik internasional tentang pemasaran produk pengganti ASI yang telah diratifikasi dengan dikeluarkannya Keputasan Menteri Kesehatan no. 237/Menkes/SK/IV/1997 mengenai pemasaran produk pengganti ASI.
Masyarakat nampaknya melupakan atau tidak paham bahwa susu sapi bukanlah makanan terbaik untuk bayi dan anak berusia kurang dari 2 tahun. Sehingga ada banyak ibu-ibu yang mengkhawatirkan terjadinya dampak negatif dari mahalnya harga susu pada bayi mereka. Sangat mungkin mereka tidak tahu bahwa sebenarnya penggunaan susu formula telah terbukti mengakibatkan banyak dampak buruk pada bayi.

Promosi ASI
Momentum kenaikan harga susu ini seharusnya dipakai oleh pemerintah untuk meningkatkan penggunaan ASI dengan menjelaskan keunggulan ASI dibanding dengan susu formula. Berbagai penelitian membuktikan bahwa masih banyak ibu yang tidak tahu tentang hal ini. Sehingga respon segera yang perlu dilakukan saat melambungnya harga susu adalah memberikan penjelasan tentang keunggulan ASI dan cara pemberian ASI yang benar.
Selain itu juga perlu ada upaya konkrit untuk menciptakan lingkungan yang memungkinan ibu-ibu untuk menyusui anak-anak mereka dengan benar. Cuti melahirkan yang terlalu singkat misalnya berperan besar untuk menghambat kemampuan ibu-ibu yang bekerja dalam memberikan ASI. Terlalu sibuknya ibu-ibu oleh pekerjaan di rumah juga berpengaruh terhadap menurunnya produksi ASI. Sehingga selain informasi untuk masyarakat, juga sangat diperlukan kebijakan dan peran serta semua pihak untuk lebih memungkinkan ibu-ibu di Indonesia memberikan ASI dengan benar.
Informasi tentang keunggulan ASI seharusnya diberitakan dengan jelas melalui berbagai media, salah satunya adalah media massa. Perlu diberitakan bahwa selama 6 bulan pertama kehidupan bayi, mereka hanya perlu ASI saja. Ini yang disebut sebagai ASI eksklusif. Setelah itu, ASI tetap merupakan makanan terbaik sampai anak berusia 2 tahun. Dalam usia tersebut, sebenarnya tidak diperlukan susu selain ASI. Yang perlu diberikan adalah makanan yang mendampingi pemberian ASI yang sering disingkat MP-ASI atau makanan pendamping ASI.
Keunggulan tentang ASI ini tidak terbantahkan dan telah direkomendasikan oleh Badan Kesehatan Dunia dan juga oleh pemerintah Indonesia melalui Departemen Kesehatan. Sehingga jika ibu-ibu di Indonesia telah tahu tentang hal ini dan mampu untuk memberikan ASI dengan benar, seharusnya kenaikan harga susu tidak akan berpengaruh terhadap keadaan gizi anak bawah 2 tahun .
Pada anak di atas 2 tahun pun, kenaikan harga susu seharusnya tidak berpengaruh banyak, jika masyarakat tahu pola makan yang berimbang. Susu memang bergizi baik, tetapi ada banyak makanan lain yang bila dikonsumsi dalam jumlah yang cukup dan beragam akan dapat menggantikan kebutuhan gizi yang bersumber dari susu sapi.

Disamping harga susu yang melambung akhir-akhir ini, sebenarnya konsumsi susu masyarakat Indonesia memang rendah jika dibandingkan negara-negara berkembang lainnya. Paling tidak ada dua sebab utama yaitu produksi susu Indonesia yang rendah dan ketidakbiasaan meminum susu. Secara jangka panjang, jika ingin meningkatkan konsumsi susu maka harus juga ada upaya untuk meningkatkan produksi susu dalam negeri. Peningkatan produksi susu dan upaya menahan harga susu perlu dilihat sebagai upaya memberikan pilihan kepada keluarga Indonesia dalam mencukupi kebutuhan gizi mereka.

Salah satu hal penting lainnya dari momentum kenaikan harga susu ini adalah mengingatkan kita semua tentang pentingnya meningkatkan ketahanan pangan keluarga. Selain susu, ada banyak sumber kebutuhan gizi lainnya yang perlu untuk diperhatikan ketersediaan dan daya beli terhadapnya. Kenaikan harga susu disusul dengan ketidakmampuan masyarakat untuk membelinya perlu dilihat sebagai makin berkurangnya pilihan atas sumber makanan pemenuh kebutuhan gizi keluarga.

Mudah-mudahan baik masyarakat, media massa dan pemerintah memberikan respon yang tepat atas kenaikan harga susu ini. ASI haruslah yang gencar dipromosikan bukanlah usul untuk melakukan operasi pasar susu formula apalagi pembagian susu gratis. Secara jangka panjang, peningkatan produksi dan stabilitas harga susu sepatutnya diperhatikan pemerintah sama halnya dengan bahan makanan lainnya. Sehingga keluarga Indonesia memiliki cukup pilihan dan mampu mendapatkan berbagai bahan makanan untuk demi meningkatnya kualitas kesehatan anak-anak Indonesia.