tidak ada kondom

tidak ada kondom
Iklan ini diangkat dari kisah nyata. Beberapa anak muda di suatu desa di Papua menggunakan plastik ketika melakukan hubungan seks. Tujuannya untuk mencegah penularan HIV. Mereka tahu bahwa hubungan seks dapat menularkan virus ini, tetapi kondom sulit didapat dan mahal harganya.

Saturday, March 3, 2007

Interaksi awal teman-teman di lembah baliem dengan “dunia luar”

Ekspedisi bangsa-bangsa Eropa telah berlangsung sejak abad ke 15. Salah satu daerah eksplorasi tersebut adalah kepulauan rempah-rempah (Spice Islands). Bangsa Portugis, Spanyol dan akhirnya Belanda berebut kekuasaan untuk mengeruk kekayaan alam negeri-negeri merdeka ini. Keserakahan akhirnya menindas masyarakat di Nusantara.

Berbeda dengan pulau-pulau disekitarnya yang telah banyak dikunjungi oleh pedadang-pedagang Asia dan kemudian Eropa. Penduduk asli Papua relative kurang mengalami interaksi dengan “dunia luar”, bahkan mereka yang hidup di pesisir pantai Papua sekalipun. Salah satu sebab utama adalah tidak adanya daya tarik rempah atau produk eksotik lainnya, seperti yang ditawarkan oleh pulau-pulau disekitarnya. (Bensley J, 1994)

Sebenarnya pantai Papua telah ditemukan pada tahun 1511 oleh dua orang Portugis yaitu Antonio d’Abreu dan Francesco Serrano dalam pencarian mereka untuk menemukan penghasil rempah-rempah. Setelahnya beberapa ekspedisi sekedar ‘melewati’ daerah ini saja, tanpa ada keingingan untuk masuk lebih dalam. Interaksi dengan kesultanan Tidore telah dilakukan sebelum jaman colonial, tetapi hubungan ini hanya terjadi dengan masyarakat pesisir dan superficial saja (Bensley J, 1994). Sampai akhirnya pada tahun 1714 sebagian wilayah pulau Papua bagian Barat menjadi bagian kekuasaan Belanda. Tetapi tentu saja cara penguasaan Belanda terhadap Papua sangat berbeda dengan daerah lainnya. Karena kesulitan alam yang luar biasa dan tidak adanya daya tarik ekonomi yang besar pada saat itu, Belanda hanya mendirikan beberapa pos saja di wilayah ini sebagai tanda kekuasaannya atas daerah ini, itupun terjadi setelah puluhan tahun lamanya. Sebuah pos didirikan di Manokwari dan Fak-Fak pada tahun 1898. Sedangkan di Merakue bau didirikan pada tahun 1902. Jayapura, yang dahulu bernama Hollandia, didirikan pada tahun 1910. Tetapi sebenarnya kelompok misionaris dari Belanda telah melakukan kontak dengan masyarakat pesisir 43 tahun sebelum pos pertama didirikan oleh pemerintah Belanda. (Bensley J, 1994).

Kontak dengan masyarakat setempat hanya terjadi di sekitar kota-kota pesisir tersebut saja. Sangat sedikit kontak dengan masyarakat pedalaman. Mereka yang ingin mengeskplorasi wilayah pedalaman Papua selalu berhadapan dengan alamnya ganas, malaria, rawa-rawa atau pegunungan tinggi sehingga sangat jarang yang berani untuk memasuki wilayah tengah di mana lembah Baliem berada. Baru pada tahun 1907, sekelompok orang yang diketuai H.A. Lorentz melakukan upaya untuk mendaki puncak gunung yang tertutup salju. Tetapi usaha ini gagal karena penyakit dan ketidakramahan penduduk setempat. Sampai akhirnya mereka dapat juga mencapai batas salju Mt. Wilhelmina pada ketinggian 14,786 feet pada tahun 1910. Puncak gunung ini baru dicapai oleh Kapten Herderche di tahun 1913. Tetapi ekspedisi-ekspedisi diatas hanya bertujuan untuk mencapai puncak gunung dan tidak terlalu banyak interaksi dengan masyarakat local terjadi. (Naylor LL , 1974).

Baru pada tahun 1920-21, sebuah ekspedisi ilmiah yang diketuai oleh Kapten Van Overeem bertemu dengan masyarakat Dani, yang mereka gambarkan sebagai “angkuh dan agresif”. Satu tahun kemudian seorang anggota tim yang terdahulu, yaitu kapten Kremer melakukan ekspedisi yang terkenal menimbulkan dampak negative bagi masyarakat Dani. Ekspedisi ini membawa wabah penyakit disentri yang menyebabkan banyak orang mati dan sakit.

Tetapi ekspedisi besar yang banyak melakukan interaksi dengan masyarakat setempat adalah ekspedisi Archbold. Ekspedisi di tahun 1938-39 ini adalah sebuah ekspedisi yang penting dalam penemuan Wamena dan lembahnya yang sangat luas. Ekspedisi ini adalah sebuah ekspedisi botani yang dipimpin oleh Richard Archbold, dari American Museum of Natural History, yang menjadi orang Kaukasia pertama yang menginjakan kaki di sana. Dalam pengamatannya dari udara, dia melihat bahwa lahan pertanian yang tersusun secara geometric yang teratur lengkap dengan saluran airnya. Dia menulis bahwa Wamena seperti lahan pertanian di Eropa Tengah. Pendapat ini tidak terlalu berlebihan. Walaupun mereka masih hidup dalam jaman batu, peneliti-peneliti percaya bahwa lembah Baliem telah dikembangkan sejak paling tidak 9.000 tahun yang lalu.[1]


Interkasi dengan misionaris
Interaksi dengan “dunia luar” yang sesungguhnya terjadi saat para misionaris memberanikan diri menembus pegunungan yang mengitari lembah Baliem ini. Pada tahun 1954, pemerintah Hindia Belanda mengijinkan kelompok misionaris untuk memasuki lembah Baliem. Kelompok misionaris pertama yang memasuki lembah Baliem adalah Christian and Missionary Alliance (CAMA) (Bensley J, 1994). Kemudian menyusul Australia-Pacific Christian Mission (APCM), Australian Baptist Missionary Society (ABMS) dan Regions Beyond Missionary Union (RBMU). Beberapa tahun kemudian kelompok-kelompok ini membagi wilayah pelayanan seperti tercantum dalam table berikut ini:
Walaupun mendapat tantangan yang keras, akhirnya masyarakat di lembah Baliem dan sekitarnya menjadi Kristen. Bersamaan dengan upaya penginjilan, para misionaris membuka akses transportasi melalui jalur udara ke wilayah-wilayah terpencil. Para misionarislah yang pertama kali melakukan pengambangan masyarakat sebelum pemerintah dan lembaga lain masuk. Misionaris juga bertindak sebagai buffer bagi keadaan politik di wilayah ini. Melalui perubahan politik yang sangat cepat berganti dari kekuasaan Belanda menuju penguasaan sementara PBB dan akhirnya kekuasaan pemerintah Indonesia, para misionaris bertindak tanpa berpihak kepada satu pihak.

Dataran tinggi Baliem di masa awal pemerintahan RI

Pada tahun 1963, setelah mengalami periode kekuasaan Belanda yang sangat panjang dan kemudian pengelolaan sementara oleh PBB, wilayah Papua bagian Barat akhirnya menjadi bagian dari Indonesia. Bersamaan dengan itu, sebuah nama baru diberikan, yaitu Irian Barat dan kemudian berganti menjadi Irian Jaya. Sebelumnya, pemerintah Belanda berkeberatan untuk menyerahkan Papua ke tangan Indonesia. Salah satu alasannya adalah bahwa masyarakat Papua adalah termasuk etnik Melanesia, berbeda dengan masyarakat Indonesia lainnya yang termasuk etnik Austronesia. Belanda juga meragukan kemampuan Indonesia – negara yang masih muda – untuk mengelola suatu wilayah yang sangat terisolasi dan masih ‘terbelakang’.
Sebuah mandate untuk melakukan referendum dilakukan untuk menentukan pendapat rakyat Papua. Referendum tersebut dilakukan di tahun 1968-69 yang disebut sebagai “Act of free choice’ yang akhirnya menentapkan wilayah ini menjadi bagian Indonesia. Pada bulan Maret 1973, propinsi ini menggunakan nama Irian Jaya atau “Glorious Irian”.
Lembah Baliem di era Indonesia mengalami perubahan budaya dan pembangunan dengan sangat cepat. Kontrol pemerintah pusat atas daerah ini dilakukan dengan melakukan pengiriman tentara dalam jumlah sangat banyak. Sampai dengan tahun 90an dan 2000 awal, jumlah tentara telah berbanding 1:4 dengan masyarakat sipil. Selain itu, pendatang dari luar Papua telah membanjiri Wamena. Diperkirakan setengah dari penduduk Wamena adalah pendatang. Mereka menguasai sector ekonomi dan baru akhir-akhir ini pejabat daerah dipegang oleh orang Papua sendiri. Kekerasan dan ketidakadilan mewarnai pembangunan di wilayah ini. Kesenjangan sangat jelas terlihat antara penduduk pendatang dan penduduk asli. Kios-kios di pasar dikuasai oleh masyarakat pendatang, sedangkan penduduk asli berjualan di emperan pasar.
[1] Van Baal, Galis, Koentjaraningrat (1984), West Irian: A Bibliography, the Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde,The Netherlands (www.kitlv.nl), downloaded in October 2006 from http://www.papuaweb.org/dlib/bk1/kitlv/bib/06-ocr.pdf .
For detail historical dates: http://www.koteka.net/history.htm
From Wamena To Western Dani, Indonesia Magazine, 1994, p.12 - 15

No comments: