tidak ada kondom

tidak ada kondom
Iklan ini diangkat dari kisah nyata. Beberapa anak muda di suatu desa di Papua menggunakan plastik ketika melakukan hubungan seks. Tujuannya untuk mencegah penularan HIV. Mereka tahu bahwa hubungan seks dapat menularkan virus ini, tetapi kondom sulit didapat dan mahal harganya.

Saturday, March 3, 2007

Apa yang dapat dilakukan ADP untuk gizi?

[1]

Latar belakang
Beberapa kali telepon di meja saya berdering, beberapa surat elektronik masuk ke dalam kotak surat dan beberapa orang datang menanyakan pertanyaan seperti judul tulisan ini. Jika saya punya cukup waktu maka saya akan menjawab pertanyaan mereka dengan panjang lebar, sampai-sampai orang tersebut terlihat menguap beberapa kali. Mungkin karena bosan dengan jawaban saya yang terlalu berapi-api tetapi disampaikan dengan terlalu cepat.

Biasanya jawaban saya adalah sebagai berikut:

Kita mulai dengan hujan istilah
Saya mulai dengan pernyataan bahwa kita harus membedakan antara penggunaan indikator yang berhubungan dengan status gizi[2] dengan program rehabilitasi gizi. Kemudian saya menjelaskan bahwa yang kita belum memperhatikan adalah suatu bentuk program gizi yang saya beri nama program gizi yang strategis – integratif – holistik – advokatif.

Biasanya orang yang mendengar mulai memicingkan sebelah matanya, menunjukkan rasa ingin tahu. Dan kalau saya menemukan tanda ini saya lanjutkan dengan penjelasan untuk istilah-istilah yang saya sudah lupa dari buku apa atau dari siapa atau mungkin saya sendiri yang merangkainya.[3]

Pertama kita harus paham dulu apa yang disebut indikator gizi. Siapapun berhak tahu dan berhak menggunakan indikator ini untuk kepentingan mereka masing-masing. Ini bukan indikator milik para ahli gizi atau pengelola program gizi rehabilitatif saja. Secara sederhana artinya adalah suatu ukuran dari baik buruknya keadaan gizi seseorang atau suatu kelompok orang pada suatu klasifikasi yang sama. Untuk yang ukuran terhadap kelompok orang, seharusnya disebut adalah status gizi masyarakat. Yang lebih sering digunakan di Indonesia adalah status gizi pada kelompok anak yang berusia di bawah 5 tahun.

Siapa yang bisa menggunakan indikator ini?
Sebut saja guru!
Hah? Guru? Apa hubungannya dengan indikator gizi?
Ya jelas ada! Mau tahu?[4]

Guru! Kalau saya seorang guru, pekerjaan saya akan lebih ringan kalau anak didik saya memiliki otak yang berisi. Darimana saya tahu kalau otak mereka berisi? Salah satunya dengan mengetahui sesuatu yang menurut ahli gizi disebut sebagai status gizi. Menurut mereka, anak-anak dengan status gizi buruk terutama disaat 2 tahun pertama kehidupannya akan memiliki kecerdasan yang kurang karena jaringan otak mereka tidak maksimal berkembang akibat kurangnya asupan makanan.

Betulkan? Bahwa guru juga berhak menggunakan indikator gizi. Siapa lagi yang perlu tahu atau menggunakan ini?
Bagaimana dengan seorang camat atau bupati? Apa mereka juga perlu tahu? Ya, jelas perlu dong.

Seorang Bupati perlu tahu tingkat kesejahteraan rakyatnya. Dia perlu tahu apakah dia bekerja dengan baik untuk meningkatkan derajat hidup yang lebih baik untuk rakyat yang telah memilihnya. Status gizi bisa menjadi tanda apakah beliau bekerja dengan baik atau tidak.

Jika Bupati tersebut membersihkan korupsi pada jajarannya, uang yang tadinya masuk ke kantong beberapa orang dapat digunakan untuk membuat saluran irigasi dengan lebih luas, lebih baik dan lebih tahan lama. Akibatnya kekeringan dapat dihindari. Akibatnya rakyat dapat panen sebanyak 2 atau 3 kali setiap tahunnya. Akibatnya petani dapat memiliki cukup makan atau uang untuk memenuhi kebutuhan makan istrinya yang sedang hamil. Akibatnya Ibu itu melahirkan bayi yang sehat. Dan setelahnya Ibu itu tetap mendapat makanan yang bergizi, akibatnya ibu itu dapat dengan baik menyusui anaknya selama 6 bulan tanpa diberi makanan apapun (yang kata ahli gizi disebut sebagai ASI Eksklusif). Akibatnya anak itu bertubuh gempal, ceria dan sedikit nakal. Setelah itu, anak itu terus mendapat ASI sampai dia berumur 2 tahun. Tetapi bersamaan dengan itu, sang Ibu juga menyiapkan makanan pendamping ASI dari hasil kebunnya yang subur karena diairi dengan baik. Kira-kira 6 tahun kemudian, sang anak masuk sekolah negeri di desanya. Dia selalu naik kelas dengan hasil yang baik sekali. Dan akhirnya setelah 12 tahun kemudian diterima di sebuah universitas ternama di negeri itu. Empat tahun kemudian dia lulus dan bekerja sebagai seorang ahli budaya.

Ini cuma satu cerita dari ribuan keluarga – ibu hamil – ibu menyusui – BALITA – Anak usia sekolah – mahasiswa – pekerja dan seterusnya. Apa akibatnya? Kemiskinan lenyap! Keadilan ditegakkan! Korupsi tidak punya tempat di negeri itu!

Jadi Sang Bupati dapat menggunakan indikator gizi untuk mencari tahu sejauh mana kesejateraan rakyatnya menjadi lebih baik. Sang Bupati yang satu ini tidak melakukan bagi-bagi makanan untuk Balita atau apalagi membagikan susu. Tetapi yang dilakukannya adalah pemberantasan korupsi! Karena dia melihat bahwa di negeri itu akar dari masalah kesejahteraan adalah ketidakadilan akibat beberapa gelintir penguasa, pemegang senjata dan pengusaha bekerja sama melahap harta negara. Sang Bupati yakin bahwa dengan tegaknya hukum dan keadilan dengan sendirinya nanti para Balita akan lebih sehat. Ini contoh ekstrim, tidak wajib dicontoh loh!

Bagaimana dengan seorang pekerja sosial yang bergerak dalam bidang pemberdayaan masyarakat?
Apa dia juga berhak tahu dan menggunakan indikator gizi?
Ya tentu saja boleh!

Sebut saja dia adalah Bapak Joni. Beliau tahu betul bahwa rakyat di desanya sering kali melupakan hak anak dalam kehidupan mereka. Dewasa laki-laki lebih mengutamakan merokok dan pesta-pesta. Sedangkan kehidupan anak terabaikan. Anak-anak terlihat lusuh, tanpa alas kaki, banyak yang tidak sekolah. Apalagi anak perempuan, lebih banyak yang pucat dan tidak sekolah. Pak Joni sangat tergerak untuk membuat perubahan di desa itu. Ia mulai berbicara kepada tetua adat tentang adat yang berlaku di desa itu. Ia juga bicara dengan kelompok bapak-bapak. Mula-mula gagasannya ditolak mentah-mentah. Tetapi lama kelamaan beberapa bapak-bapak mulai tergerak untuk mengutamakan anak dalam pengeluaran keuangan mereka.

Beberapa keluarga mulai menyediakan sepatu untuk anaknya bersekolah. Akibatnya anak-anak dapat berlari menuju sekolah mereka. Anak-anak terutama remaja putri mendapat makanan yang cukup dan bergizi. Dahulu anak-anak cuma dapat kaki atau kepala ayam, kini remaja putri dapat paha atau dada ayam. Mereka sekarang tahu bahwa remaja putri perlu gizi yang baik.

Selain memerhatikan sepatu dan makanan, rakyat desa tersebut juga sadar bahwa akte lahir sangat diperlukan oleh anak mereka kelak nanti. Mereka dapat bersekolah lebih baik di kota nanti.

Keadaan ini terus membaik dari tahun ketahun. Sampai akhirnya Pak Joni pensiun. Sudah 20 tahun ia bekerja bersama masyarakat di desa itu. Kemudian ia bertanya pada dirinya sendiri, apa ia sudah bekerja bersama rakyat membuat perubahan? Lalu ia menjawab: SUDAH! Apa buktinya Pak? Dahulu sekitar separuh dari Balita di sana kurang gizi. Kini anak-anak di desa itu sangat sedikit sekali yang kurang gizi. Bahkan sekarang tinggi Balita juga lebih tinggi jika dibandingkan keadaan pada 20 tahun yang lalu.

Pak Joni membuktikan bahwa dirinya bekerja dengan baik selama 20 tahun di desa itu dengan menujukkan perubahan gizi pada Balita, padahal dia tidak pernah membagikan makanan tambahan atau apapun juga namanya.

Rangkuman dari 3 kisah
Dari ketiga cerita ini, tidak ada satu pun yang ahli gizi. Bukannya saya tidak suka dengan ahli gizi. Tetapi memang indikator gizi bukan milik ahli gizi saja atau bukan juga hanya digunakan untuk mengukur keberhasilan program gizi saja.

Setelah kita dengar / baca 3 kisah ini, saya berharap kita sudah dapat membedakan antara:
Penggunaan indikator gizi
Program gizi rehabilitatif

Indikator gizi adalah indikator hasil yang sangat baik dalam mengukur kesejateraan suatu kelompok masyarakat. Dia adalah agregat dari berbagai faktor, sebut saja:

Asupan gizi, yang dipengaruhi oleh:
i. Ketersediaan bahan pangan, yang dipengaruhi oleh:
1. ketersediaan air (ini urusan tukang air)
2. ketersediaan lahan (ini urusan land reform)
3. ketersediaan bibit (ini urusan fair trade)
4. harga jual hasil panen (ini juga fair trade)
5. harga beli pupuk (ini juga fair trade)
6. perubahan iklim akibat kerusakan hutan (ini urusan orang lingkungan)
Mungkin ini berhubungan dengan kedaulatan pangan.
ii. Kemampuan untuk menyimpan / lumbung pangan (ini urusan tabung menabung)
iii. Perbandingan jumlah jiwa dan lahan (ini urusan KB)
iv. Kemampuan untuk mengolah pangan (terutama untuk anak) (ini urusan orang gizi, lebih khusus lagi teknologi pengolahan pangan)

Sehat / penyakit, ini bukan hanya pekerjaan dari seorang dokter, tetapi dipengaruhi oleh:
i. Kondisi rumah
ii. Kepadatan penduduk
iii. Jumlah dan kualitas air bersih
iv. Kualitas udara
v. Cukup makan makanan yang bergizi
vi. Cukup olahraga
vii. Cukup istirahat
viii. Tidak ada nyamuk
ix. Ada kondom (utk KB dan pencegahan HIV/AIDS, apa hubungannya dengan gizi, tentu ada! Nantikan edisi selanjutnya)
x. Guru tidak kabur dari sekolah. Kalau guru kabur, murid tidak belajar, akhirnya bodoh dan tidak tahu kalau nyamuk bisa menularkan Malaria, akibatnya banyak anak yang kena Malaria, sering sakit dan jadi kurus! Itulah hubungan antara guru yang kabur dengan gizi buruk.
xi. Dll

Kedua faktor utama ini akan beranak dan beranak terus. Sampai akhirnya semua sisi kehidupan ini terkait. Kesimpulannya adalah: Tidak perlu ragu untuk menggunakan indikator gizi untuk berbagai keperluan. Tetapi harus realistis! Jangan berharap ada perubahan status gizi kalau cuma hanya bagi-bagi seragam sekolah.

Untuk sebuah program yang ‘selengkap’ ADP, harusnya cukup yakin untuk berharap akan ada perubahan pada status gizi pada Balita pada suatu saat nanti (10-15 tahun lagi). Karena:
Orang tua sadar akan hak anak
Pendidikan jauh lebih berkualitas
Sumber air terbagi rata
Rakyat tahu perdagangan yang adil
Pemerintah memperhatikan rakyatnya dengan baik
dll
Kalau ini tercapai, saya yakin bahwa dalam 10-15 tahun ada generasi Balita baru yang tubuhnya lebih gempal dan lebih lincah.

Lalu sekarang kita bicara tentang program gizi rehabilitatif. Apa ini? Dia ini cuma program tambal ban! Kerjanya cuma cari ban bocor lalu ditambal, tetapi tidak mencari tahu dan mengatasi mengapa banyak ban yang bocor? Ha ha ha mungkin juga ada yang tebar paku, tetapi apa ada ahli gizi rehabilitatif yang menebar paku? Pasti tidak ada, tetapi mungkin ada yang memakai kacamata kuda, dan hanya mau tahu apa yang mereka pernah belajar, yaitu kalau ada anak yang gizi kurang atau buruk harus dikasih makan ini itu. Padahal jauh lebih seru kalau kita cari tahu mengapa ada banyak anak yang gizi kurang.

Tetapi bukan berarti pekerjaan ini tidak penting. Sangat penting sekali. Program ini sangat perlu dilakukan! Jangan membiarkan anak Balita yang sekarang gizi buruk terus hidup dalam kondisi ini. Mereka perlu “ditambal”. Pekerjaannya lebih seperti mengobati daripada mencegah. Padahal kita tahu bahwa mengobati biayanya lebih besar dan lebih rugi karena anak itu pasti telah sedikit bodoh.

Siapa yang perlu membuat program gizi yang sifatnya ‘tambal ban’ seperti ini? Yang cocok adalah mereka cuma punya waktu sesaat saja. Katakanlah 3 tahun saja. Biasanya, mereka berani membuat target akan ada perubahan status gizi yang sifatnya agak jangka panjang (atau bahasa kerennya kurang gizi kronik). Sedangkan ada juga yang sangat pendek umur proyeknya. Misalnya hanya kurang dari satu tahun. Biasanya yang jadi pemicu adalah adanya kurang gizi akut atau mendadak. Karena sifatnya mendadak, maka intervensinya juga cepat datang dan cepat juga perginya.

Bagaimana dengan lembaga seperti ADP yang bisa bertahan dalam 10-15 tahun. Jangan hanya meniru cara kerja program gizi ‘tambal ban’ saja. Atau istilah saya adalah jangan meniru kegiatan mereka yang hanya berkerangka 3 tahun lalu menariknya (seperti karet) ke dalam kerangka waktunya ADP. Tentu tidak pas.

Nah kalau begitu yang cocok untuk ADP apa?
Ini dia: yang cocok untuk ADP adalah program gizi yang strategis – integratif – holistik – advokatif.
Apa sih? Isinya sangat lengkap. Yang pasti harus dilakukan dengan konsisten!

Dalam program gizi ini, semua masalah yang berkaitan harus diatasi. Dan juga tidak melupakan Balita-Balita yang kini kurang gizi. Jadi termasuk juga program gizi rehabilitatif. Artinya sedapat mungkin anak-anak kurus dan lemah ini harus segera dipulihkan. Dan yang lebih penting mengupayakan jangan sampai ada lagi Balita yang seperti ini.

Bagaimana cara melakukannya? Buat dulu pohon masalah sesuai dengan keadaan daerah tersebut. Lalu bertindaklah seperti Guru, Bupati dan pekerja sosial dalam ketiga contoh cerita diatas.

Strategis, artinya cari pangkal-pangkal masalah yang menentukan masalah-masalah lainnya. Dan segera atasi
Integratif, artinya jangan melakukan pemisahan sektor-sektor. Semua sektor harus yakin berada dalam garis perjuangan yang sama.
Holistik, artinya semua aspek jangan terlewatkan. Kalau tidak mampu, buat jejaring kerja
Advokatif, artinya memperjuangkan perubahan dalam semua tataran. Mulai dari keluarga, pemuka adat, pemimpin terendah sampai tertinggi.

Misalnya:
Mari kita belajar dari NTT, disana mungkin gambar pohon nya seperti ini:
Air kurang, karena hujan kurang, sumber air kurang atau tidak tersalurkan dengan baik
Pendidikan sangat buruk
Ketidakadilan gender
Hak anak terabaikan
Adanya sistim kasta
Merokok, minum dan pesta
Kurang akses terhadap informasi
Kurang pelayanan kesehatan yang paripurna
Korupsi (katanya salah satu propinsi yang korupsinya hebat)
Banyak penyakit: TB, Malaria
dll

Dari gambar pohon ini, mana yang perlu diatasi? Semuanya pasti! Tapi kalau dua atau tiga faktor saja diurus dengan sangat baik, saya yakin akan ada kontribusi pada perbaikan status gizi balita. Tapi syaratnya harus dilakukan dengan benar-benar baik, bukan biasa-biasa saja. Karena masalah gizi benar-benar parah, bukan biasa-biasa saja.

Kalau saja pendidikan disana menjadi lebih baik, dalam 10 tahun akan ada ibu-ibu yang berpengetahuan jauh lebih baik, sehingga tidak perlu lagi WVI berletih-letih mengajari kader melakukan penyuluhan. (Bukan tidak perlu, tetap perlu).

Kalau saja ada keadilan gender, pasti ibu-ibu bisa mengatur kelahiran dengan lebih baik. Ibu tidak akan kurang gizi dan anemia sehingga anaknya juga tidak berbadan lahir kecil.

Kalau saja Puskesmas buka sesuai dengan jam kerja kantor, (artinya buka dari jam 8 – 16, berarti mereka dapat bekerja dua kali lipat dari biasanya) pasti mereka memiliki kemampuan dua kali lipat untuk mengatasi masalah kesehatan di sana. Artinya mereka harus digaji cukup sehingga tidak perlu mencari kerja tambahan.

Kalau saja – kalau saja yang lain masih banyak.

Penutup

Dari cerita saya ini, saya berharap saat kita melihat ada banyak anak Balita yang kurus dan/atau pendek, maka kita mengurai temuan ini sampai kepada akar-akarnya. Jangan terpaku hanya pada kekurusan atau kurangnya makan saja. Mari kita tempatkan indikator gizi sebagai indikator agregat dari kesejahteraan masyarakat. Jangan tempatkan dia hanya menjadi indikator keberhasilan program gizi rehabilitatif saja. Mari tempatkan dia sebagai indikator pengembangan masyarakat yang utuh (yang saya sebut sebagai program gizi yang strategis – integratif – holistik – advokatif)

Selamat bekerja!
[1] Oleh Ronald Gunawan, Karyawan World Vision Indonesia. Pernah menjadi dokter, sekarang peminat antropologi kesehatan. Tulisan ini adalah pendapat pribadi

[2] Untuk selanjutnya disebut indikator gizi

[3] Suatu saat saya bertanya pada diri sendiri, apa saya sudah ‘berhak’ untuk membuat istilah-istilah baru. Lalu muncul jawaban bahwa rasanya pengalaman selama hampir 6 tahun bekerja di sector ini saya sudah memberikan keberanian untuk melontarkan istilah atau jargon baru.

[4] Kalau masih tertarik untuk membaca tulisan saya ini, sebaiknya menyiapkan secangkir teh atau kopi panas dan sepotong kue kering. Karena ketika saya menulisnya, mereka juga yang menemani saya. Mungkin mereka juga akan membantu pembaca dalam memahami jalan pikiran saya yang sering melompat-lompat.

1 comment:

Anonymous said...

menarik....saya sangat terbantu dengan pola pikir anda.
selamat berkarya