tidak ada kondom

tidak ada kondom
Iklan ini diangkat dari kisah nyata. Beberapa anak muda di suatu desa di Papua menggunakan plastik ketika melakukan hubungan seks. Tujuannya untuk mencegah penularan HIV. Mereka tahu bahwa hubungan seks dapat menularkan virus ini, tetapi kondom sulit didapat dan mahal harganya.

Sunday, December 14, 2008

Konspirasi di Balik HIV/AIDS di Papua?

Oleh Ronald Gunawan

Apa yang biasanya terjadi di daerah Papua pada 1 Desember? Setidaknya ada dua hal penting. Aparat akan memperketat keamanan untuk mencegah kelompok yang ingin mengibarkan bendera bintang kejora. Pada saat yang sama, sebagian masyarakat dan aktivis HIV/ AIDS melakukan berbagai kegiatan advokasi penyadaran akan bahaya penularan HIV.

Pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, pemerintah seakan merestui dikibarkannya bendera bintang kejora, sebagai sekadar bendera kedaerahan. Tetapi, kemudian, bendera ini dilarang untuk dikibarkan. Tanggal 1 Desember adalah waktu yang mendebarkan, baik bagi masyarakat Papua asli maupun pendatang. Apakah kali ini masih terjadi ketegangan karena upaya penaikan bendera?

Sebagian masyarakat dan para aktivis HIV/AIDS juga memiliki agenda penting, yaitu peringatan Hari AIDS Sedunia. Peringatan ini sangat penting karena Papua adalah satu-satunya daerah di Indonesia di mana HIV sudah dinyatakan sebagai epidemi yang meluas atau generalized epidemic.

Jika ditilik, kedua hal ini adalah satu kebetulan yang sangat menarik, khususnya setelah penulis mendalami masalah AIDS di Tanah Papua, mendengarkan keluhan dan kecurigaan masyarakat, serta membaca tulisan-tulisan, termasuk tentang teori konspirasi atas epidemi HIV/AIDS.

Kerap terdengar keluhan masyarakat atas lambannya upaya mengatasi masalah HIV/AIDS di Tanah Papua. Tidak jarang keluhan ini dilanjutkan dengan tuduhan yang mengarah pada kesengajaan pihak tertentu untuk memusnahkan orang Papua melalui virus ini. Kalimat-kalimat seperti ini bukan hanya terungkap dalam pembicaraan tidak resmi, tetapi juga dalam pertemuan-pertemuan resmi.

Pada pertemuan Pemangku Kepentingan Untuk Percepatan Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS di Tanah Papua pada 19 sampai 21 November 2008 di Jayapura yang dihadiri ratusan pejabat, tokoh masyarakat, dan pihak-pihak lain, kalimat dengan nada menuduh seperti ini juga sempat terucap.

Mengapa Percaya?

Rumor biasanya bergerak dengan cepat dan mudah ditambah dan dilebih-lebihkan. Leslie Butt, antropolog yang pernah melakukan penelitian di Papua, mencatat, salah satu rumor yang mendukung teori konspirasi ini menyebutkan bahwa HIV/AIDS dengan sengaja dihadirkan di Papua lewat pengiriman pekerja seks yang sudah HIV positif. Sebagai seorang dokter, penulis sangat sulit untuk menerima kebenaran rumor ini. Terlalu banyak kemustahilan. Ini pasti cuma rumor tanpa unsur kebenarannya. Tetapi, yang menarik adalah mengapa orang mudah percaya dengan rumor ini? Mengapa tidak terjadi di wilayah lain di Indonesia?

Yang termakan rumor ini juga bukan hanya masyarakat biasa, tetapi juga sejumlah tokoh masyarakat dan agama. Setidaknya ini terungkap dalam beberapa diskusi interaktif lewat siaran radio yang dilakukan oleh sebuah kantor berita radio. Penulis sering mencatat dan mulai bosan dengan munculnya pemahaman seperti ini dalam forum diskusi.

Ternyata teori konspirasi tidak hanya terjadi di Tanah Papua. Di Afrika Selatan, teori ini sempat berkembang. Paula A Treichler dalam bukunya yang berjudul How to Have Theory in an Epidemic: Cultural Chronicles of AIDS menuliskan, pernah berkembang pemahaman bahwa AIDS memungkinkan pembatasan atas hak reproduktif orang kulit hitam di sana. Butt juga mengungkapkan, pada masyarakat yang mengalami penindasan, kadang-kadang isu AIDS dihubungkan dengan ketidakberdayaan mereka secara politik dan ekonomi dan digunakan untuk mengungkapkan rasa ketertindasan mereka.

Lepas dari perdebatan tentang benar-tidaknya rumor konspirasi politik ini, penulis berusaha untuk memahami faktor-faktor penyebab epidemi HIV, yang telah meluas di Papua. Tidak bisa disangkal, derap pembangunan di Provinsi Papua dan Papua Barat sangat lamban. Ini dapat dengan mudah dilihat dari masih banyaknya sekolah tanpa kehadiran guru-guru, banyak kampung belum terlayani pelayanan kesehatan, serta penyampaian informasi penting terhambat, karena terisolasi gunung, lembah, dan rawa- rawa.

HIV dan AIDS terbukti menyebar dengan cepat pada masyarakat yang mengalami kesenjangan informasi, jauh dari layanan kesehatan, dan pendidikan yang rendah. Juga sudah terbukti bahwa negara-negara yang tidak memiliki sistem penunjang kesejahteraan yang baik, misalnya, negara-negara Afrika sub-Sahara, telah mengalami wabah HIV dan AIDS yang sangat dahsyat. Sebaliknya, negara-negara yang memiliki sistem penunjang kesejahteraan yang baik dapat dengan cepat mengatasi masalah ini.

Dengan melihat penjabaran ini, kita mendapat landasan untuk mengerti mengapa sebagian orang di Papua mudah tersulut rumor konspirasi politik tentang AIDS. Ketertinggalan dan kelambanan dalam pembangunan Papua bisa saja dianggap sebagai pembiaran atau pengabaian pemerintah atas kesejahteraan rakyatnya. Jika kita setuju dengan kesimpulan ini, maka kita juga akan setuju bahwa program pembangunan yang masih belum mampu mengangkat kesejahteraan secara signifikan secara tidak langsung menyuburkan epidemi HIV dan AIDS di Papua.

Dengan demikian, dipercayainya rumor teori konspirasi ini tidak sepenuhnya tanpa dasar. Yang pasti, ini bukanlah karena adanya operasi intelijen untuk menyebarkan virus, tetapi karena kelambanan pembangunan yang bersinergi dengan perilaku masyarakat yang berisiko menyuburkan penyebaran HIV di Papua.

Sumber Sama

Bagaimana dengan makna tanggal 1 Desember lainnya? Tampaknya, kita harus melihat riak-riak keinginan untuk memisahkan diri dari Jakarta sebagai kekecewaan masyarakat Papua atas kelambanan upaya pembangunan di daerah yang sebenarnya sangat kaya ini. Suatu kebetulan yang menarik. Ketegangan atas tuntutan pemisahan diri oleh sekelompok masyarakat yang memuncak pada 1 Desember ternyata berakar dari sumber yang sama dengan meluasnya penyebaran HIV.

Sama seperti rumor konspirasi tentang AIDS, yang menyebar dengan cepat dan masih tetap tertanam dalam pemikiran sebagian orang, kekecewaan terhadap pemerintah atas tidak meratanya pembangunan, kecemburuan terhadap pihak luar yang justru menguasai perekonomian dan sumber-sumber kekayaan alam mereka, luka-luka atas kekerasan oknum-oknum aparat, juga mungkin masih cukup dalam tertanam pada pikiran sebagian masyarakat, sehingga sangat mudah terprovokasi melakukan aksi demonstrasi dan pengibaran bendera.

Mungkin saja upaya pengibaran bendera akan kembali terjadi dan juga sangat mungkin HIV atau masalah kesehatan lain akan terus menyebar jika banyak sekolah tetap kosong tanpa guru dan kampung-kampung tidak terlayani pelayanan kesehatan. Bagaimana mengatasinya? Sama dengan cara mengatasi keinginan untuk memisahkan diri, bukan hanya dengan menindak pelaku, tetapi dengan benar-benar menyejahterakan rakyat. HIV dan AIDS juga tidak bisa diatasi dengan upaya sektoral, yang hanya ditujukan pada pencegahan yang sempit, tetapi dengan dengan benar-benar menjalankan sistem penunjang kesejahteraan masyarakat dengan baik.

Semoga Otonomi Khusus yang diterapkan di Tanah Papua, program-program pembangunan berbasis kampung yang dijalankan Pemerintah Provinsi Papua, dan berbagai upaya pemberdayaan lain dari berbagai pihak, benar-benar dirasakan oleh masyarakat, sehingga masalah keinginan memisahkan diri dan AIDS akan terselesaikan dalam waktu yang tak terlalu lama.

Penulis adalah dokter dan antropolog, staf organisasi kemanusiaan World Vision Indonesia yang tinggal dan berkarya di Jayapura

SUARA PEMBARUAN 1 Desember 2008


No comments: